Bank Dunia: Kelaparan Meningkat Efek Banyak Negara Batasi Ekspor Pangan

ANTARA FOTO/HO/Humas BNPB/wpa/tom.
Ilustrasi.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
20/9/2024, 15.00 WIB

Bank Dunia menyebut tingkat kelaparan global meningkat pada tahun lalu akibat gencarnya proteksionisme negara-negara produsen pangan. Sekitar 760 juta orang mengalami kelaparan secara global pada tahun lalu, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 735 juta orang. 

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Carolyn Turk menyebut, tingkat kelaparan pernah turun menjadi 7% dari total penduduk dunia. Namun, proteksionisme dalam bentuk pelarangan ekspor pangan membuat angka tersebut naik menjadi 9% pada 2022 dan kembali meningkat pada tahun lalu. 

"Dalam tiga tahun terakhir, estimasi menunjukkan bahwa tingkat kelaparan global benar-benar tidak berubah sama sekali," kata Turk di Indonesia International Rice Conference 2024, Kamis (19/9).

Bank Dunia mencatat, tingkat kelaparan global telah berhasil turun signifikan dalam 70 tahun terakhir dari sebelumnya yang sempat mencapai 69%. Penurunan kelaparan sejak 1950-an terbantu oleh produksi beras yang  meningkatkan konsumsi kalori dari 2.000 kalori menjadi mendekati 3.000 kalori pada 2021. 

Turk menilai, kondisi tersebut disebabkan oleh volatilitas harga pangan selama pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, ketergantungan sebagian negara terhadap produksi negara lainnya.

Kondisi tersebut juga diperburuk dengan menurunnya pengeluaran pemerintah di sektor agrikultur secara global. Dengan demikian, proteksionisme membuat angka kelaparan gagal ditekan.

Turk mencatat, pengeluaran ke sektor pertanian hanya tumbuh 1,9% per tahun pada 2011 hingga 2021. Angka tersebut lebih rendah dari 10 tahun sebelumnya sebesar 2,7%.

"Jadi, tren terakhir ini tidak begitu optimis. Di samping itu, ada tantangan struktur yang lebih dalam di belakang krisis beberapa tahun terakhir ini," katanya.

Di sisi lain, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional Rachmi Widiriani mengakui harga beras di dalam negeri lebih tinggi dibandingkan di pasar global. Ini karena biaya produksi yang harus dibayar petani padi kini lebih tinggi, khususnya untuk pupuk.

Rachmi mengatakan, tingginya biaya produksi membuat petani harus mendapatkan harga yang lebih tinggi. Walau demikian, ia mengakui harus ada efisiensi dalam produksi beras di dalam negeri untuk menekan hara.

"Dengan efisiensi, produktivitas petani akan naik dan akhirnya mendapatkan keuntungan dengan harga yang bagus. Dengan demikian, harga beras lama kelamaan akan stabil," kata Rachmi.

Rachmi mengatakan, harga beras yang tinggi di dalam negeri membuat petani bahagia. Hal tersebut tercermin dari Nilai Tukar Petani Agustus 2024 yang mencapai 119,85 poin. Sementara itu, Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian di posisi 122,2 poin.

Berdasarkan data Bapanas, rata-rata nasional harga Gabah Kering Panen kini mencapai Rp 6.420 per kg. Angka itu lebih tinggi Rp 420 per kg dari Harga Pembelian Pemerintah atau HPP gabah senilai Rp 6.000 per kg.

"Dalam 10 tahun terakhir, saat ini NTP petani untuk tanaman pangan paling tinggi. Namun pemerintah harus hadir di tengah-tengah agar petani mendapatkan harga bagus, tapi masyarakat dapat mengakses beras berkualitas baik dengan harga terjangkau," katanya.

Reporter: Andi M. Arief