Presiden Joko Widodo meresmikan tiga fasilitas pemurnian dan pengolahan atau smelter pada pekan ini, yang terdiri atas dua smelter tembaga dan satu smelter bauksit. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambanga Bisman Bakhtiar menilai masifnya pembangunan smelter perlu diiringi dengan upaya membangun industri turunannya.
Bisman menjelaskan, tingkat konsumsi produk smelter terutama tembaga di dalam negeri belum maksimal. Menurutnya, hal ini wajar sebab hilirisasi tembaga masih dalam tahap awal. Selain itu, pasar ekspor juga masih cukup besar.
“Untuk itu pemerintah harus mampu percepat menciptakan ekosistem industri tembaga dan mendorong industri turunannya,” kata Bisman saat dihubungi Katadata.co.id pada Kamis (26/9).
Menurut Bisman, pembangunan industri turunan butuh waktu panjang. Namun, jika ada dorongan dan kemudahan dari pemerintah terkait dengan investasi, perizinan, dan lahan, waltunya bisa relatif lebih cepat. Membangun industri turunan dari smelter-smelter yang sudah ada saat ini setidaknya membutuhkan tiga tahun untuk tahap awal.
Ia menekankan, keberadaan industri turunan ini yang nantinya akan berdampak besar untuk ekonomi serta menciptakan efek berganda.
Tiga smelter yang sudah diresmikan ini terdiri atas smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di Gresik, Jawa Timur dan smelter milik PT Amman Mineral Internasional di Nusa Tenggara Barat. Kedua smelter ini telah resmi memproduksi produk turunan tembaga.
Sementara smelter bauksit milik konsorsium PT Antam Tbk dan PT Inalum di Mempawah, Kalimantan Barat baru secara resmi menginjeksikan bauksit ke dalam smelter tersebut.
“Daripada hanya mengandalkan produk langsung hasil smelter tembaga yang nilai tambahnya tidak terlalu besar,” ujarnya.
Smelter tembaga PTFI mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat tembaga menjadi 900 ribu ton katoda per tahunnya. Sementara untuk smelter Amman berkapasitas 900 ribu ton tembaga yang dapat memproduksi konsentrat sebanyak 220 ribu ton per tahun.
Tidak hanya Bisman, Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi juga mendorong penciptaan industri turunan. Menurutnya, Indonesia masih memiliki banyak sumber daya yang bisa dimurnikan di smelter.
“Jangan sampai hilirisasi ini berhenti di pemurnian saja, katoda itu kan masih tergolong bahan baku. Kalau bisa diolah lebih lanjut oleh industri dalam negeri tentu dapat menghasilkan banyak produk seperti kabel, peralatan mobil listrik,” kata Fahmy kepada Katadata.co.id pada Kamis (26/9).
Fahmy menyebut, penciptaan industri turunan ini juga dapat berkontribusi terhadap perekonomian daerah sekitar hingga membuka lapangan pekerjaan.
Ia menekankan perlunya keseriusan pemerintah untuk menciptakan industri turunan. Hal ini untuk menghindari nasib sama seperti komoditas nikel yang hanya dihilirisasi hingga menghasilkan produk turunan kedua kemudian diekspor ke luar negeri.
“Smelter nikel itu kan banyak dimiliki oleh Cina, sehingga nilai tambah hilirisasinya lebih banyak dinikmati mereka,” ujarnya.
Dampak Ekonomi Hilirisasi Jokowi