Kementerian Perdagangan akan membahas revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 bersama Kementerian Perindustrian. Peraturan tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor ini disebut menjadi penyebab PT Sri Rejeki Isman atau Sritex pailit.
“Rencananya minggu depan akan dibahas dengan Kementerian Perindustrian,” kata Pelaksana Tugas. Sekretaris Jenderal Kemendag Isy Karim, saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (30/10).
Permendag tersebut merupakan revisi keempat dari Permendag Nomor 36 Tahun 2023. Semangat aturan ini adalah pengendalian pemeriksaan barang impor di pintu perbatasan, penambahan barang bebas bea masuk milik pekerja migran Indonesia (PMI), dan pengendalian impor melalui pertimbangan teknis.
Kehadiran revisi aturan itu sebagai respon penumpukan 26 ribu kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dan Pelabuhan Tanjung Perak, Jawa Timur. Kehadiran Permendag Nomor 8 Tahun 2024 lalu membuat barang-barang impor di kontainer dapat bebas masuk ke Indonesia.
Mayoritas barang tersebut adalah tekstil dan barang tekstil alias TPT. Dampak pelonggaran tersebut membuat negara ini banjir produk tekstil impor dan menekan produksi pabrik tekstil lokal.
Isy enggan menjawab bagaimana revisi aturan yang akan pemerintah lakukan. "Belum ada, tapi bagian itu akan dibicarakan," katanya.
Sritex Diputus Pailit
Sritex sebelumnya dinyatakan bangkrut oleh Pengadilan Negeri Semarang (PN Semarang), Jawa Tengah. Hal tersebut tercantum dalam putusan dengan nomor perkara 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Semarang pada 28 Agustus 2024.
Selama 58 tahun, Sritex telah menjadi bagian dari industri tekstil di Indonesia. Manajemen perusahaan menyebut sekitar 14.112 karyawan terdampak langsung, bersama 50 ribu karyawan dalam Grup Sritex akibat keputusan tersebut.
Sritex memiliki deretan utang kepada sejumlah bank. Beban tanggungan Sritex per 31 Maret 2024 sejumlah US$ 1,6 miliar atau sekira Rp 25,17 triliun yang di dalamnya terdapat sejumlah utang bank.
Laporan kinerja perusahaan pada kuartal pertama 2024 menunjukan, Sritex memiliki deretan utang jangka panjang dengan total US$ 848,25 juta atau setara Rp 13,27 triliun. Dalam pos ini, Sritex mencatatkan utang paling banyak kepada PT Bank Central Asia (BCA) senilai US$ 71,98 juta, atau sekira Rp 1,12 triliun.