Proyeksi Industri Sawit 2025: Antisipasi Kebijakan B40 di Tengah Krisis Produksi

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/agr
Pengunjung mengunjungi stan pameran industri kelapa sawit di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (7/11/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
8/11/2024, 16.05 WIB

Pelaku industri kelapa sawit Indonesia menilai penerapan kewajiban penggunaan bahan bakar minyak (BBM) biodiesel 40% atau B40 mulai 1 Januari 2025 akan menjadi salah satu tantangan bagi industri. Hal itu lantaran kebijakan dimulai saat tren penurunan produksi minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) terus berlanjut.

Anggota Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono mengatakan dalam lima tahun terakhir produksi minyak sawit turun 1% setiap tahunnya. Salah satu penyebabnya adalah berkurangnya produktivitas lantaran bertambahnya tanaman sawit yang berusia tua. Di sisi lain, peremajaan tanaman atau replanting yang dilakukan masih terbatas. 

“Tidak ada perubahan signifikan pada profil umur perkebunan kelapa sawit Indonesia dari 2023 hingga 2024,” ujar Joko dalam Forum Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11). 

Pada saat bersamaan, Joko mengatakan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel B40 juga akan mengurangi volume sawit yang bisa digunakan untuk industri. GAPKI memprediksi penerapan B40 akan mengurangi ekspor CPO hingga 2 juta ton. 

Jumlah lebih besar akan dibutuhkan jika pemerintah melanjutkan kebijakan dengan B50 pada 2028. Penggunaan B50 diprediksi akan mengurangi ekspor hingga 6 juta ton. 

Penggunaan B40 merupakan kelanjutan dari program B35 yang sudah berlaku sejak 2023. Biodiesel B40 merupakan campuran antara 40% biodiesel sawit dan 60% solar fosil yang diterapkan pemerintah sebagai bentuk komitmen terhadap penggunaan energi terbarukan.  

Menurut Joko salah satu cara yang saat ini sedang dikebut oleh industri adalah menggesa replanting dengan target 120 ribu hektare per tahun menggunakan bibit unggul. Namun menurut dia, kebijakan ini agak terkendala dengan persoalan lahan dan pendanaan untuk petani kecil. 

Joko mengatakan keberlanjutan program biodiesel memerlukan pengembangan peta jalan yang lebih dapat diterima dengan mempertimbangkan kecukupan pasokan dan pendanaan. Ia berharap pemerintahan Prabowo Subianto memprioritaskan perbaikan iklim investasi di sektor kelapa sawit. 

“Penyelesaian tumpang tindih kawasan hutan merupakan masalah krusial yang harus segera diatasi, jika tidak akan meninggalkan ketidakpastian hukum yang menghambat pencapaian target produksi dalam rangka swasembada pangan dan energi,” ujar Joko. 

Tantangan dalam perbaikan tata kelola sawit menurut dia bertambah seiring belum adanya kelanjutan tugas yang sebelumnya dilakukan oleh Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit. Sejak dibubarkan pada September 2024, menurut Joko hingga saat ini belum ada lembaga yang melanjutkan tugas satgas sehingga persoalan tumpang tindih lahan belum terselesaikan. 

“Mempercepat penyelesaian masalah ini sangat penting untuk mencegah potensi masalah dan ketidakpastian yang dapat membahayakan masa depan industri kelapa sawit,” ujar Joko. 

Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Bali Convention Center, Kamis (7/11). (Istimewa)

Tantangan Harga Minyak Sawit 

Di sisi lain, Joko juga menjelaskan pada 2025 industri sawit menghadapi tantangan dengan harga minyak nabati yang makin kompetitif. Menurut Joko saat ini harga minyak sawit dengan minyak nabati lainnya seperti bunga matahari dan soya semakin dekat. Hal ini berbeda dengan situasi lima tahun lalu saat harga sawit jauh lebih murah dibanding harga minyak kedelai dan bunga matahari. 

“Sejak tahun lalu kesenjangan harga yang mengecil ini bahkan palm oil ini lebih tinggi,” ujar  Joko. 

Ia menjelaskan peningkatan harga sawit di pasar global di satu sisi menguntungkan petani namun di sisi lain membuat harga produk turunan sawit menjadi mendekati harga produk minyak nabati lainnya. Hal ini membuat daya saing sawit di pasar global menurun dibanding tahun sebelumnya. 

“Peningkatan biaya yang lebih tinggi menurut saya memberi dampak besar pada persaingan,” ujar Joko. 

Ia mengatakan selama ini biaya produksi minyak kelapa sawit didominasi oleh upah buruh yang mencapai 56%. Karena itu ia mengatakan industri perlu lebih hati-hati dalam mengelola produksi sawit sehingga tidak memberikan dampak negatif pada daya saing produk sawit. 

Sementara itu Direktur Eksekutif ISTA Mielke Gmbh (Oil World), Thomas Mielke mengatakan saat ini replanting  masih menjadi tantangan yang harus segera diselesaikan industri sawit Indonesia dan Malaysia. Produksi minyak kelapa sawit menurut dia akan sangat mempengaruhi harga dan daya saing global. 

Menurut Thomas, bila industri sawit tak bisa memenuhi pasar global maka bisa jadi terjadi pergeseran permintaan kepada minyak biji bunga matahari atau jagung. “Akan menjadi kekuatan apabila ada keseimbangan antara pasokan dan permintaan,” ujar Thomas. 

Lebih jauh ia mengatakan, saat ini konsumen di pasar global butuh kuantitas minyak sawit yang besar dan datangnya dari Indonesia. Apabila permintaan ini tidak diikuti dengan produksi bukan tidak mungkin terjadi pergeseran. Ia melihat keunggulan minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia bisa saja dalam dua tahun ke depan digantikan oleh minyak bunga matahari dan minyak kedelai. 

Ia menyebut negara yang memproduksi minyak bunga matahari dan kedelai sudah bersiap sejak dua tahun lalu untuk menggantikan pasar minyak sawit. “Ini adalah game changer dan tidak ada hubungannya dengan cuaca. Ini terstruktur,” ujar Thomas. 

Thomas mengatakan negara penghasil sawit seperti Indonesia harus serius dalam mengantisipasi penurunan produksi. Selain replanting, ia  mengingatkan agar industri serius dalam menyediakan kualitas bibit dan memperhatikan persoalan ketersediaan lahan.

Produk Pesaing

Menurunnya daya saing minyak sawit diungkap pula oleh Direktur Gidrej International Ltd Dorab E Minstry. Dorab mencontohkan permintaan impor minyak sawit di India menurun dari 9 juta ton pada 2023-2024 menjadi 8,5 juta ton pada 2024-2025.

Pada saat bersamaan, impor soya meningkat dari 3,5 juta menjadi 4,5 juta ton. Ia menyebut tren penurunan minyak sawit harus menjadi perhatian industri. 

Hal lain yang diprediksi bakal mempengaruhi industri sawit adalah dinamika geopolitik global yang masih mungkin berlanjut dengan belum berakhirnya ketegangan antara Ukraina dan Rusia serta konflik di Timur Tengah. Potensi kembalinya Donald Trump usai menang pada Pilpres juga dinilai akan berdampak. 

Perubahan tren pasar juga terjadi di Cina. Ryan Chen, Direktur China CNF Business, Oils & Oil Seeds pada Cargil Investments (China) mengatakan bahwa ada kecenderungan pasar Cina beralih dari minyak sawit ke minyak nabati lain.

Menurut Ryan dalam pasar domestik Cina sekarang ini tersedia pilihan pasokan minyak nabati lain, khususnya minyak kedelai. Tren ini akan terus berlanjut di tengah potensi harga sawit yang makin tinggi. 

"Saya kira dalam hal harga, sudah berakhir era minyak sawit paling murah,” kata Ryan. 

Menurutnya, pada 2024 pemintaan minyak nabati Cina akan stagnan, setelah mengalami kenaikan pada tahun 2023. Permintaan minyak sawit Cina berupa olein dan stearin diperkirakan turun sekitar 30% tahun ini karena beberapa faktor, terutama menyangkut harga.

Pangsa minyak sawit terhadap total permintaan minyak nabati diperkirakan menurun ke 12.8% tahun ini, dibandingkan dengan 17.5% pada 2023. Ia menyebutkan Impor minyak olein tahun ini bisa menurun ke 2,3 juta metrik ton pada 2024, dibandingkan dengan 4,2 juta metrik ton pada  2023. Adapun pada 2025 impor olein akan stagnan di sekitar 2.3 – 2.4 juta metrik ton.

Di pasar India dan Pakistan, permintaan diproyeksikan meningkat. Namun, ada kekhawatiran atas kemungkinan penurunan suplai minyak sawit dari Indonesia dan pungutan ekspor yang bisa menaikkan harga.

Direktur Eksekutif dari The Solvent Extractors’ Association di India, B.V Mehta, menyebutkan permintaan minyak nabati akan terus meningkat, tapi produksi domestik tidak bisa menutupi seluruh permintaan. Konsumsi domestik India mencapai sekitar 30 juta metrik ton, tapi hanya sekitar 13 juta ton bisa dipenuhi dengan produksi lokal.

“India masih akan tergantung pada impor minyak nabati, namun kebijakan biodiesel di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran di pasar soal suplai sawit,” kata Abdul Rasheed Jan Mohammad, CEO, Westbury Group, Perusahaan Pakistan.

Sementara Alponsus Inyang, Presiden National Palm Produce Association of Nigeria (NPPAN), mengatakan bahwa ada kesempatan untuk investasi dan perdagangan minyak nabati di Afrika. Ia menyebutkan para investor bisa berinvestasi di Nigeria dan perdagangan minyak nabati karena permintaan minyak nabati di Afrika meningkat terus.