GAPKI Optimistis Rencana Pemerintah Gabung BRICS Tak Pengaruhi Ekspor CPO

Istimewa
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono di International Palm Oil Conference (IPOC) 2024, Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11)
Penulis: Ira Guslina Sufa
8/11/2024, 20.33 WIB

Pelaku industri sawit menilai rencana pemerintah Prabowo Subianto untuk bergabung dalam aliansi BRICS tak akan mempengaruhi pasar minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan kuantitas ekspor minyak sawit tak akan berbeda saat Indonesia gabung BRICS atau tidak. 

"Jadi saya meyakini dengan kita gabung di BRICS, tidak ada masalah dengan ekspor kita utamanya juga ke Eropa," kata Eddy Martono dalam Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Nusa Dua, Bali, Jumat (8/11). 

Eddy berkeyakinan kebutuhan dunia terhadap industri kelapa sawit tak bisa tergantikan. Hal itu lantaran sektor tersebut sudah menjadi bagian yang dibutuhkan masyarakat global.

Saat ini Indonesia merupakan produsen sawit terbesar. Adapun negara importir sawit Indonesia yang terbesar adalah Cina, India dan gabungan negara-negara Uni Eropa. Dengan begitu menurut dia posisi politik Indonesia tak akan banyak terdampak. 

Eddy mengatakan hingga saat ini mayoritas negara termasuk Eropa membutuhkan produk sawit dari Indonesia baik yang diimpor langsung maupun dari negara lain. "Jadi saya meyakini di Eropa pun akan tetap membutuhkan sawit, dan contoh yang utamanya untuk industri, industri makanan," ujar Eddy. 

Sementara itu anggota Dewan Pembina GAPKI Joko Supriyono mengatakan pada 2025 industri sawit justru menghadapi tantangan dengan harga minyak nabati yang makin kompetitif. Menurut Joko saat ini harga minyak sawit dengan minyak nabati lainnya seperti bunga matahari dan soya semakin dekat.

Hal ini berbeda dengan situasi lima tahun lalu saat harga sawit jauh lebih murah dibanding harga minyak kedelai dan bunga matahari. “Sejak tahun lalu kesenjangan harga yang mengecil ini bahkan palm oil ini lebih tinggi,” ujar  Joko. 

Ia menjelaskan peningkatan harga sawit di pasar global di satu sisi menguntungkan petani namun di sisi lain membuat harga produk turunan sawit menjadi mendekati harga produk minyak nabati lainnya. Hal ini membuat daya saing sawit di pasar global menurun dibanding tahun sebelumnya. 

“Peningkatan biaya yang lebih tinggi menurut saya memberi dampak besar pada persaingan,” ujar Joko. 

Ia mengatakan selama ini biaya produksi minyak kelapa sawit didominasi oleh upah buruh yang mencapai 56%. Karena itu ia mengatakan industri perlu lebih hati-hati dalam mengelola produksi sawit sehingga tidak memberikan dampak negatif pada daya saing produk sawit.