Berapa Lama Corona Bertahan di Tembaga, Besi, Plastik, dan Aerosol?

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.
Petugas Dinas Pangan dan Pertanian Kota Cimahi menyemprotkan cairan disinfektan di sebuah kios di Pasar Citeureup, Cimahi, Jawa Barat, Selasa (17/3/2020). Penyemprotan disinfektan di pasar yang menjual onderdil bekas tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran virus Corona melalui barang bekas yang dijual.
18/3/2020, 08.26 WIB

Kebersihan menjadi kunci penting untuk mencegah penyebaran virus corona. Bukan hanya kebersihan tubuh, tapi juga barang-barang yang biasa kita gunakan. Penelitian terbaru menunjukkan daya tahan virus corona baru alias HCOV-19 atau SARS-CoV-2 di berbagai material sama dengan virus corona penyebab SARS yaitu SARS-CoV-1.

Dalam penelitian di laboratorium, para peneliti dari National Institutes of Health, Princeton, dan University of California, Los Angeles menemukan bahwa virus corona bisa bertahan beberapa jam hingga beberapa hari pada permukaan beragam material hingga aerosol. Aerosol adalah partikel cair atau padat yang sangat kecil sehingga melayang di udara.

Hal ini terungkap dalam dokumen pre-print hasil penelitian. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa virus terdeteksi hingga empat jam pada permukaan tembaga, hingga 24 jam pada kardus, serta hingga dua sampai tiga hari pada plastik dan besi tahan karat (stainless steel). Sedangkan di aerosol, virus ini masih terdeteksi hingga tiga jam setelah aerosol terbentuk.

“Secara keseluruhan, stabilitas dari HCOV-19 dan SARS-CoV-1 sangat sama,” demikian tertulis dalam pre-print tersebut.

(Baca: Melawan Virus Corona dari Rumah)

Meski begitu, dikutip dari Wired, para peneliti tersebut memberikan catatan pada penelitiannya, yaitu bahwa apa yang terjadi di laboratorium bisa jadi tidak merefleksikan seberapa lama virus tersebut bisa bertahan pada permukaan benda di dunia luar. Tapi, ini bisa menjadi bagian penting dalam memahami virus dan bagaimana mencegah penyebarannya.

Ketika para peneliti memeriksa berapa lama virus bisa bertahan di aerosol, para peneliti juga tidak mengambil sampel dari udara di sekitar orang yang terinfeksi, namun mereka menaruh virus dalam nebulizer dan melepasnya ke drum yang berputar untuk membuatnya tetap berada di udara. Setelah itu, mereka melakukan tes seberapa lama virus tersebut bisa bertahan.

Fakta bahwa virus tersebut bisa bertahan dalam kondisi ini selama tiga jam bukan berarti penularannya bisa terjadi lantaran berbagi udara yang sama dengan orang yang terinfeksi alias airborne. “Ini bukan bukti dari transmisi aerosol,” kata peneliti dari INH Neeltje van Doremalen melalui Twitter.

Selain itu, sejauh ini, sangat sedikit bukti bahwa orang yang menderita batuk atau bersin memproduksi aerosols dalam jumlah yang signifikan dibandingkan droplets. Droplets adalah partikel cairan yang lebih besar sehingga tidak bertahan di udara melainkan terjatuh. Orang yang mengalami batuk atau bersin biasanya menyebarkan virus melalui droplets.

Meski begitu, Profesor Kesehatan Publik di Harvard Joseph Allen, yang tidak terlibat dalam penelitian, mengatakan bahwa data tersebut mendukung ide bahwa orang sebaiknya mengambil langkah antisipasi praktis untuk mencegah penyebaran virus secara airborne. Ini bisa dilakukan dengan memastikan pergerakan udara dan ventilasi yang baik.

“Kita sebaiknya tidak menunggu hingga diketahui perbedaan transmisi sebelum kita bertindak – kita sebaiknya mengambil “seluruh” pendekatan,” kata dia seperti dikutip Wired.

(Baca: Status Darurat Bencana Virus Corona Diperpanjang hingga 29 Mei 2020)

Seiring hasil-hasil penelitian terbaru bahwa virus corona bisa bertahan berjam-jam hingga berhari-hari di permukaan material, Otoritas Kesehatan AS Center for Desease Controls and Preventions (CDC) merekomendasikan masyarakat untuk secara rutin membersihkan permukaan benda yang sering disentuh seperti meja, gagang pintu, stop kontak, remote, toilet, dan keran. Kotoran dibersihkan dengan alat rumah tangga, kemudian dilanjutkan dengan disinfektan.

Sedangkan untuk kebersihan tangan, masyarakat disarankan untuk rajin mencuci tangan dengan sabun dan air selama 20 detik, atau jika tidak tersedia, bisa menggunakan hand sanitizer dengan kadar alkohol minimal 60%.

Saat ini, para peneliti dari NHI dan University of California berencana untuk meneliti bagaimana kondisi lingkungan, seperti temperatur dan kelembaban, mempengaruhi kemampuan virus untuk bertahan. Mereka juga ingin mengetahui apakah penyebaran virus ini melambat pada musim panas, sebagaimana flu.  

Tembaga, Material dengan Kemampuan Mensterilkan Diri

Hasil penelitian ini sekaligus mengingatkan akan kemampuan tembaga dalam mensterilisasi diri. Meskipun daya tahan virus corona di permukaan material ini cukup lama yakni hingga empat jam, namun jauh lebih cepat dibandingkan material plastik dan besi.  

Tembaga telah dikenal sejak zaman dulu sebagai material antibakteria. Di zaman dulu, orang biasa menggunakan tembaga untuk mensterilkan luka. Tembaga juga banyak digunakan sebagai material berbagai peralatan. Hingga kini, di India, tembaga menjadi bahan yang populer untuk wadah makan dan minum.

Pada 2008, agen perlindungan lingkungan Amerika Serikat, Environmental Protection Agency (EPA), memasukkan lebih dari 300 ragam material tembaga sebagai antibakteria. Ini menjadikan tembaga sebagai material padat pertama yang masuk kategori tersebut.

Dalam berbagai penelitian, tembaga menjadi salah satu material rekomendasi untuk barang-barang di rumah sakit. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya opsi material, seperti besi antikarat dan plastik, tembaga semakin banyak ditinggalkan.

Keefektifan tembaga di antaranya dibahas dalam penelitian yang dipublikasikan pada 2011 bertajuk Metallic Copper as an Antimicrobial Surface. Penelitian dilakukan oleh Profesor mikrobiologi dari University of Nebraska dan University of Arizona, serta profesor biochemistry dari University of Bern. Ketiganya melakukan penelitian laboratorium terkait daya tahan berbagai bakteri pada permukaan tembaga.

(Baca: Tes Virus Corona: Penting untuk Cegah Penyebaran tapi Sulit Didapat)

Dalam publikasi penelitian tersebut juga dikutip hasil uji coba tembaga sebagai antibakteri yang dilakukan berbagai rumah sakit. Dalam uji coba 10 minggu di Oak Hospital, Birmingham, Inggris, dilakukan pembandingan kontaminasi bakteri pada beberapa barang dengan kandungan tembaga yaitu dudukan toilet (70% Cu), pegangan (60% Cu), dan lempengan untuk pintu dorong (70% Cu) dengan barang-barang yang sama yang menggunakan material lain seperti plastik, krom dan alumunium.

Hasilnya, angka median bakteri yang ditemukan pada barang-barang yang mengandung tembaga yaitu 90% dan 100% lebih rendah dibandingkan pada permukaan benda sama namun non-tembaga. Uji coba sejenis di berbagai rumah sakit juga menunjukkan keunggulan tembaga untuk memulihkan diri dari bakteri, misalnya uji coba di klinik di Grabouw, Western Cape, Afrika Selatan dan Asklepios Hospital di Hamburg, Jerman. Temuan bakteri lebih sedikit 60-70% dibandingkan pada barang-barang non-tembaga.