Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping akan bertemu di Mar-a-Lago, Palm Beach, Florida, AS, Kamis (6/4) sore waktu setempat. Pertemuan perdana dua pemimpin negara raksasa ekonomi dunia ini mengundang perhatian luas karena dilingkupi berbagai kepentingan domestik negaranya masing-masing dan kepentingan global.
Pertemuan itu diharapkan melahirkan sebuah jalan tengah setelah hubungan AS dan Tiongkok menghangat sejak Trump menjadi Presiden AS pada Januari lalu. Bahkan, saat masa kampanyenya, Trump kerap menyerang kebijakan-kebijakan Pemerintah Tiongkok.
Trump pernah memperingatkan Tiongkok agar tidak mengganggu perekonomian AS. Bahkan, melalui akun Twitter-nya, Trump menyebut pemanasan global adalah isu yang digunakan Tiongkok untuk menghancurkan sektor manufaktur AS.
'Menghangatnya' hubungan dua negara penguasa ekonomi dunia itu tentunya turut meriakkan perekonomian global. Jika kondisi ini menyulut perang dagang maka ekonomi dunia juga akan terpapar dampaknya.
Meski kerap diserang Trump, Tiongkok diharapkan tidak memablasnya dengan sikap yang keras. Kepala kolumnis Financial Times, Gideon Rachman, menyatakan Jinping tidak boleh melakukan kesalahan, bahkan sekecil apapun, dalam pertemuannya dengan Trump. (Baca: Kebijakan Trump Picu Unjuk Rasa Penghuni Silicon Valley)
“Dia (Presiden Jinping) ingin menghindari kesan bahwa dia pernah merasa dihina,” ujar Rachman seperti dilansir CNN, Kamis (6/4). Rachman merupakan penulis buku “Easternization”, yang bercerita mengenai kebangkitan Asia di harapan Amerika dan negara-negara Barat lainnya.
Di satu sisi, Jinping tidak menghadapi masalah politik di dalam negerinya. Ia dianggap pemimpin Tiongkok paling berkuasa dalam beberapa dekade terakhir dan pernah mengendalikan Partai Komunis. Ia pun dipercaya berbicara mengenai kepemimpinan Tiongkok.
(Baca: "Main Belakang" dengan Rusia, Penasihat Keamanan Trump Mundur)
Berbeda dengan Trump, yang posisinya di dalam negeri tengah rawan. Ia menjadi Presiden AS paling tidak populer. Dia mulai memimpin AS ketika kekuasaan negara tersebut meredup di Asia, yang memberi keuntungan bagi Tiongkok.
Keputusan Trump menarik AS dari pakta perdagangan Trans-Pacific Partners (TPP) dilihat sebagai sebuah kemenangan bagi para pendukungnya. Namun, di sisi lain, kebijakan itu dianggap sebagai awal kemunduran pengaruh AS di Asia.
Dengan perbedaan-perbedaan tersebut, Trump dan Jinping sebenarnya memiliki satu tujuan yaitu membela kepentingan politik dalam negerinya masing-masing.
Meski sudah punya pijakan yang kuat di negaranya, Jinping tetap perlu bermanuver sebelum Kongres Partai Komunis digelar pada paruh kedua tahun ini. Ia berharap dapat memperkuat kekuasaannya agar bisa terus memimpin hingga lima tahun ke depan.
Oleh karena itu, pertemuan dengan Trump begitu penting untuk menjaga sistem serta pasar internasional dari goncangan yang bisa mengancam stabilitas politik dalam negeri Tiongkok.
Sementara itu, Trump punya alasan menyukseskan pertemuannya dengan Jinping. Selama menduduki jabatan Presiden AS lebih dari 70 hari, kepemimpinannya dilanda krisis. Hal ini kerap disebabkan oleh tindakan, komentar, maupun kicauannya di Twitter. (Baca: Ada 20 Juta Pengikut, Trump Tetap Akan Rajin Mencuit di Twitter)
Trump juga tengah menghadapi tekanan karena pernah berjanji saat kampanye untuk mengembalikan hubungan perdagangan AS dengan Tiongkok.
Meski begitu, Trump mengingatkan, kemungkinan pertemuannya dengan Jinping tidak akan berjalan mulus karena adanya kesenjangan dalam hubungan perekonomian kedua negara. “Pertemuan dengan Tiongkok akan sulit dan kami bisa menghadapi defisit perdagangan yang luar biasa,” tulis Trump melalui akun Twitter-nya.