ABK Indonesia Diduga Alami Perbudakan di Kapal Tiongkok

MBC News
Ilustrasi, siaran MBC News mengenai dugaan perbudakan terhadap awak kapal Indonesia di kapal China. Media asal Korea Selatan MBC News melaporkan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh ABK asal Indonesia, di antaranya kondisi kerja yang berat serta perlakuan jenazah yang langsung dibuang ke laut.
Penulis: Agung Jatmiko
Editor: Yuliawati
7/5/2020, 09.19 WIB

Media asal Korea Selatan melaporkan dugaan terjadinya perbudakan terhadap anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan milik Tiongkok.  Para ABK dilaporkan mendapat perlakuan tidak manusiawi.

Kantor berita MBC News, pada Rabu (6/5) menayangkan sebuah video yang menggambarkan jenazah seorang ABK asal Indonesia dibuang ke laut. Jenazah tersebut diketahui bernama Ari, berusia 24 tahun, yang meninggal karena sakit.

Jenazah dimasukkan dalam peti yang dibungkus kain berwarna oranye. Tampak beberapa ABK lain mengadakan upacara kematian sederhana dengan membakar dupa sebelum peti jenazah dibuang ke laut.

Pewarta MBC News menyebutkan video itu diperoleh dari ABK asal Indonesia ketika kapal ikan tersebut berlabuh di Pelabuhan Busan, Korea Selatan pada 14 April lalu. "Sejumlah ABK meminta pertolongan ke otoritas Busan, namun ketika otoritas bergerak, kapal tersebut sudah pergi" ujar reporter MBC News dalam siarannya, Rabu (6/5).

(Baca: Sengketa Tiongkok dengan Malaysia, Laut Cina Selatan Kembali Panas)

Dari laporan media tersebut, terdapat juga kesaksian ABK Indonesia dengan wajah diblur. Selain kasus Ari, terdapat dua ABK lain yang meninggal dan jenazahnya dibuang ke laut.

Padahal, sebelum bekerja mereka menandatangani surat pernyataan dari perusahaan. Surat tersebut menyebutkan bahwa apabila terjadi musibah yang menyebabkan meninggal dunia, maka jenazah akan dikremasi di pelabuhan dan abunya dipulangkan ke Indonesia.

Dia menceritakan perlakuan buruk saat bekerja di kapal yang bernama Long Xin 629, sehingga banyak ABK yang sakit dan kemudian meninggal dunia.

Para bekerja dipaksa bekerja selama 18 jam sehari, bahkan ada yang dipaksa bekerja hingga 30 jam. Mereka diberikan istirahat selama enam jam sehari untuk kesempatan tidur dan makan.

"Kadang-kadang saya harus berdiri dan bekerja selama 30 jam berturut-turut, dan saya tidak bisa duduk kecuali ketika nasi keluar setiap enam jam," kata salah seorang ABK kepada MBC News.

Bekerja 18 Jam Sehari, Upah Tak Layak

Upah yang diterima pun sungguh tidak layak. Setelah bekerja selama 13 bulan di laut, para ABK tersebut hanya mendapat upah US$ 120 per orang atau Rp 1,8 juta (asumsi kurs Rp 15.000). Artinya, setiap orang hanya menerima kurang lebih Rp 138.000 per bulan selama 13 bulan berada di laut.

Mereka pun mendapat perlakuan diskriminasi dalam konsumsi makanan dan minuman. Hanya para ABK asal Tiongkok yang mendapat air minum kemasan, sementara ABK asal Indonesia diberi minum air laut yang telah disaring.

Kondisi kerja yang berat, serta perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh para ABK asal Indonesia ini membuat beberapa di antara mereka akhirnya jatuh sakit.

Saat bersandar di Pelabuhan Busan, otoritas pelabuhan menyebutkan kondisi para ABK asal Indonesia memprihatinkan. Satu orang dinyatakan meninggal saat menjalani perawatan di rumah sakit Busan.

"Ada praktik eksploitasi yang dialami para ABK, seperti paspor ditahan dan perlakuan diskriminasi lainnya. Dalam kasus ini, Korea Selatan akan menyelidiki lebih lanjut karena yuridiksi universal berlaku," ujar Kim Jong-cheol, pengacara dari Appeal Center of Public Interest, dalam wawancara dengan MBC News.

(Baca: Pemerintah Tiongkok Akui Nelayannya Tangkap Ikan di Natuna)