Vaksin Corona Jadi Harapan, Bagaimana Perkembangannya Secara Global?

ANTARA FOTO/REUTERS/Rospotrebnadzor Federal Service for Surveillance on Consumer Rights Protection and Human Wellbeing/Handout /HP/dj
Botol berisi vaksin EpiVacCorona yang dikembangkan oleh lembaga penelitian negara bagian Vector berbasis di Novosibirsk di bawah layanan Rospotrebnadzor, di Rusia. Seluruh negara berlomba-lomba memproduksi vaksin virus corona.
9/11/2020, 10.52 WIB

Perusahaan farmasi dan peneliti di berbagai negara berlomba-lomba mengembangkan vaksin virus corona. Pasalnya, vaksin dianggap sebagai jalan keluar dari pandemi Covid-19.

Sejauh ini, pengembangan vaksin di seluruh dunia dalam tahap uji klinis fase ketiga. Meski begitu, sejumlah perusahaan telah menyatakan siap memproduksinya pada akhir tahun ini. 

Salah satunya vaksin virus corona AstraZeneca yang kemungkinan siap digunakan pada Desember 2020. Padahal uji coba vaksin AstraZeneca sempat dihentikan karena menimbulkan efek samping pada relawan.

Hal itu pun menyebabkan sejumlah peniliti memproyeksi vaksin buatan perusahaan Inggris itu akan terlambat dari jadwal produksi tahun ini.  Namun, Chief Executive Officer AstraZeneca Pascal Soriot menepis laporan mengenai penundaan dan hambatan produksi.

Menurut dia, perusahaan siap untuk mengungkap hasil uji klinis pada akhir tahun."Pada akhirnya, kami belum tahu apakah vaksin itu berhasil, apakah itu akan menunjukkan hasil untuk semua orang dan untuk jangka waktu berapa lama. Namun, kami berharap vaksinasi skala besar dapat dilakukan mulai Januari tahun depan, bahkan mungkin Desember 2020,” ujar Soriot seperti dilansir dari Aljazeera pada Kamis (5/11).

Lebih lanjut, dia mengatakan dunia membutuhkan beberapa vaksin dan studi AstraZeneca di Inggris dan Brasil terus berkembang dengan baik. Bahkan ketika studi di Amerika Serikat (AS) dihentikan karena timbul efek samping.

Soriot pun optimistis Badan Pengawas Obat dan Makanan di AS akan memberi izin penggunaan darurat setelah meninjau program vaksinasi AstraZeneca di negara lain."Tetapi itu tergantung pada keputusan regulator di masing-masing negara," ujarnya.

Seorang juru bicara pemerintah Inggris mengatakan pada Kamis (5/11) bahwa negara tersebut siap melaksanakan program vaksinasi. Namun, vaksin yang digunakan harus terbukti aman dan efektif.

Di sisi lain, AstraZeneca berencana menjual vaksin dengan harga US$ 4 sampai US$ 5 per dosis, atau sekitar Rp 57.000 hingga Rp 70.000. Hal itu tergantung pada biaya produksi di negara yang menggunakan vaksin AstraZeneca.

Perusahaan tersebut sejauh ini mengeluarkan biaya lebih dari US$ 1 miliar atau Rp 14,15 triliun untuk pengembangan vaksin secara global. Rencananya, AstraZeneca akan menambahkan 20% dari biaya tersebut untuk menghindari dampak pada keuangan perusahaan.

AstraZeneca dan Oxford telah melaksanakan uji klinis kandidat vaksin kepada sekitar 23.000 relawan secara global. Mereka berencana mencapai 50.000 orang dengan tambahan perekrutan relawan di AS.

Sejauh ini, kandidat vaksin AstraZeneca-Universitas Oxford telah menghasilkan respon kekebalan yang kuat pada orang dewasa dan lansia. Mereka merupakan kelompok yang berisiko tinggi terkena penyakit parah akibat virus corona.

Perkembangan Vaksin Secara Global

Perusahaan farmasi asal Inggris, AstraZeneca, mungkin berada di garis terdepan dalam pengembangan vaksin. Pasalnya, vaksin tersebut berpotensi menjadi yang pertama mendapat persetujuan secara global.

AstraZeneca berlomba dengan perusahaan farmasi lainnya seperti Pfizer Inc. dan Moderna Inc dalam pembuatan vaksin Covid-19. Kedua perusahaan tersebut saat ini tengah menunggu hasil uji klinis terakhir dalam beberapa minggu mendatang untuk mendapatkan izin penggunaan darurat sebelum akhir tahun.

Dilansir dari Reuters, Pfizer yang mengembangkan vaksin dengan BioNTech SE Jerman menyatakan akan merilis data uji coba tahap akhir pada November 2020. Perusahaan itu tengah menunggu data terkait aspek keamanan dalam uji klinis dua bulan terakhir.

Data tersebut diharapkan rampung pada minggu ketiga bulan ini. Jika uji klinis tersebut mendapatkan hasil positif, Pfizer hanya perlu menunggu izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Makanan dan Obat AS (FDA) untuk memproduksi vaksin Covid-19.

Di sisi lain, Tiongkok meluncurkan program penggunaan darurat untuk vaksin Covid-19 sejak Juli 2020. Vaksin tersebut diberikan kepada ratusan ribu orang pekerja yang berisiko tinggi terinfeksi virus corona tanpa melewati uji klinis tahap ketiga.

Setidaknya ada empat kandidat vaksin di Tiongkok, yaitu China National Biotec Group (CNBG), CanSino Biologics, 6185.HK, dan Sinovac. Sinovac dan CNBG menyatakan data uji klinis paling cepat selesai pada awal November 2020.

Di sisi lain, Institut Gamaleya Rusia telah memulai uji coba tahap akhir kepada 40.000 orang dan diharapkan memiliki data awal pada bulan ini. Rusia juga telah memberikan vaksin kepada setidaknya ratusan anggota masyarakat yang dianggap memiliki risiko tinggi.

Perkembangan Vaksin Merah Putih

Dari dalam negeri, Bio Farma yang bekerja sama dengan Sinovac juga mengembangkan vaksin Covid-19. Vaksin bernama Merah Putih itu dalam uji klinis tahap ketiga.

Head of Planning and Business Strategy Bio Farma Iin Susanti pada Rabu (4/11) mengatakan sejuah ini tidak ada efek samping berat yang timbul dari suntikan pertama kepada 1.620 orang. Efek samping yang timbul hanya berupa nyeri, kemerahan, dan bengkak di area suntikan, serta sakit kepala ringan.

Dengan perkembangan tersebut, Iin optimistis uji klinis Vaksin Merah Putih bakal berjalan mulus. Dia pun menargetkan uji klinis, termasuk uji imunogenitas, bakal rampung pada akhir 2020.

Nantinya, hasil uji klinis dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mendapatkan persetujuan izin edar. Jika BPOM mengeluarkan persetujuan, Bio Farma akan mulai memproduksi vaksin pada Januari 2021.

 

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan