Data Tiongkok Tak Transparan, Covid-19 Mungkin Tak Berasal dari Wuhan

ANTARA FOTO/REUTERS/Aly Song/pras/cf
Foto Aly Song. Bendera China berkibar di tempat wisata Yellow Crane Tower setelah "lockdown" diberhentikan di Wuhan, ibukota provinsi Hubei, Jumat (10/4/2020). Ada perbedaan data jumlah kasus dan kematian pada awal pandemi antara Provinsi Hubei dan laporan resmi Tiongkok pada masa awal pandemi.
2/12/2020, 16.35 WIB

Dokumen resmi Tiongkok yang bocor ke CNN.com mengungkapkan bahwa data jumlah pasien dan kematian Covid-19 di masa pandemi tak transparan. Hal itu pun memunculkan keraguan terhadap laporan mengenai asal mula virus corona

Seseorang yang tak disebutkan namanya menyerahkan dokumen rahasia kepada CNN.com. Dokumen itu memuat data Pusat Pengendali dan Pencegahan Penyakit Provinsi Hubei dari Oktober 2019 sampai April 2020 

Salah satu hal yang terungkap yaitu kenaikkan pasien penderita flu pada 2-8 Desember 2019 di provinsi tersebut mencapai 2.059%. Namun, mayoritas penderita flu itu tak berasal dari Wuhan, melainkan dua wilayah lainnya di Provinsi Hubei. 

Berdasarkan data tersebut, terdapat 6.135 kasus flu di Yichang, 2.148 kasus di Xianning, dan hanya 2.032 kasus di Wuhan. Dokumen tersebut memang tidak memaparkan secara gamblang keterkaitan antara kenaikan kasus flu di Hubei dengan Covid-19. Hal itu karena pasien flu belum dapat didiagnosis terinfeksi Covid-19 saat itu. 

Meski begitu, Wuhan justu disebut sebagai pusat pandemi corona. Pemerintah Tiongkok pada pertengahan Desember 2019 menyebut bahwa Covid-19 berasal dari Huanan Seafood Market, Wuhan, sebuah pasar makanan yang menjual hewan eksotis.

Namun, klaim tersebut ditentang oleh sebuah studi dari Lancet. Pasalnya, sepertiga dari 41 pasien yang terinfeksi Covid-19 di awal pandemi tidak terafiliasi dengan pasar tersebut.

 

Hal lain dari dokumen tersebut menunjukkan inkonsistensi antara data dari Hubei dengan laporan remsi Tiongkok. Seperti data pada 10 Februari 2020 di mana Tiongkok melaporkan 2.478 kasus baru, sedangkan dokumen yang didapat CNN.com mencatat 5.918 kasus.

Pada 17 Februari 2020, data yang dipublikasikan Tiongkok menyebut angka kematian akibat virus corona sebesar 93 orang, tetapi dokumen rahasia itu justru menunjukkan angka kematian mencapai 196.

Dokumen itu juga menyatakan Tiongkok memerlukan waktu 23,3 minggu untuk mendiagnosa satu pasien Covid-19 pada awal pandemi. Ahli kesehatan menilai bahwa hal itu dapat menghambat langkah pemantauan dan upaya melawan virus.

“Informasi itu sangat mengejutkan buat saya, karena secara umum hanya memerlukan beberapa hari saja,” ujar Senior Fellow for Global Health di The Council on Foreign Relations, Yanzhong Huang, dikutip dari CNN.com pada Selasa (1/12).

Di sisi lain, Tiongkok pernah menyatakan pada 7 Juni 2020 bahwa segala upaya penanganan Covid-19 di Tiongkok dibuka secara transparan dan berkala pada White Paper yang dirilis ke publik. Namun, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok, serta Komisi Kesehatan Hubei tidak merespons konfirmasi CNN.com mengenai dokumen tersebut.

 

Langkah Salah Tiongkok Tangani Virus Corona

Berdasarkan dokumen setebal 117 halaman tersebut, CNN.com menyebut Tiongkok mengambil keputusan yang salah dalam menangani virus corona. Sehingga penularan virus tersebut menjadi pandemi global.

Saat wabah flu merebak di Wuhan, pejabat sempat meremehkan virus dan risikonya kepada publik. Padahal seorang dokter muda bernama Li Wenliang di salah satu rumah sakit utama Wuhan sudah mengingatkan potensi virus mirip SARS pada Desember 2019.

Namun, dia dipanggil oleh otoritas setempat dan menerima "teguran" resmi dari polisi karena hal itu. Media pemerintah melaporkan hukuman mereka dan memperingatkan publik agar tidak menyebarkan rumor.

Li yang baru berusia 34 tahun terjangkit penyakit itu. Kondisinya dengan cepat memburuk dan dia meninggal pada 7 Februari 2002. Hal itu mengakibatkan tingkat kemarahan yang hampir tidak pernah terjadi sebelumnya di seluruh daratan Tiongkok yang disensor dengan ketat.

Tidak jelas sejauh mana pemerintah pusat mengetahui tindakan yang terjadi di Hubei pada saat itu. Namun, dokumen rahasia tidak memberikan indikasi bahwa pihak berwenang di Beijing mengarahkan proses pengambilan keputusan lokal.

Sebagai konsekuensi meremehkan virus, Presiden Tiongkok Xi Jinping pada akhir Januari 2020 memerintahkan upaya habis-habisan untuk menahan penyebaran virus. Caranya dengan memberlakukan karantina wilayah di seluruh negeri. 

Dengan menggunakan alat pengawasan yang canggih, lebih dari 700 juta orang tetap tinggal di rumah. Di sisi lain, Tiongkok menyegel perbatasan nasional dan melaksanakan pengujian dan pelacakan kontak secara luas.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science pada Mei 2020 menilai langkah-langkah ketat yang dilaksanakan selama 50 hari pertama pandemi itu kemungkinan membantu memutus rantai penularan lokal. Tiongkok pun mendekati angka kasus nihil dan sebagian besar penularan virus dapat diatasi.

Sejauh ini, tidak ada bagian dalam dokumen yang mengindikasikan bahwapara pejabat yakin virus itu akan menjadi pandemi global. Namun, selama satu tahun sejak pasien pertama di Wuhan mulai menunjukkan gejala, sudah ada lebih dari 1,6 juta orang tewas akibat Covid-19 dan berdampak pada kehidupan di seluruh dunia.

(Penyumbang bahan : Ivan Jonathan Irawan)

Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan