Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tidak menyarankan bukti vaksinasi Covid-19 digunakan sebagai syarat perjalanan. Pasalnya, belum ada riset lengkap terkait kemanjuran vaksin dalam mengurangi penularan virus corona.
Ahli Darurat Utama WHO, Mike Ryan mengatakan dengan banyaknya hal yang belum diketahui terkait vaksin virus corona. Sehingga bukti vaksinasi tidak bisa digunakan untuk pelaku perjalanan.
Dia justru mengimbau negara-negara membuat pembatasan bepergian karena kasus Covid-19 terus melonjak. “Kami berusaha melindungi pelaku perjalanan dan memastikan ekonomi tidak sepenuhnya terisolasi,” ujar Ryan seperti dilansir Reuters pada Sabtu (16/1).
Hal tersebut dibahas dalam pertemuan Komite Darurat WHO yang digelar Jumat (15/1). Para panel dalam pertemuan tersebut menyatakan perlu ada penelitian lebih lanjut terkait kemanjuran vaksinasi Covid-19 terhadap pencegahan penularan, durasi perlindungan terhadap penyakit parah dan infeksi tanpa gejala, durasi kekebalan setelah infeksi atau vaksinasi, serta perlindungan setelah dosis tunggal.
Di sisi lain, Ketua Panel Didier Houssin menyatakan bahwa terjadi kebingungan di masyarakat akibat kebijakan yang berbeda-beda di berbagai negara. Terutama terkait pengujian vaksin, karantina, hingga larangan perjalanan.
Oleh karena itu, dia menyarankan WHO mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan pedoman yang jelas dan berbasis ilmiah bagi pelaku perjalanan terutama melalui transportasi udara. "Hal itu untuk memfasilitasi dan mengizinkan perjalan manusia melalui transportasi udara dengan cara yang aman," kata Houssin.
Sejauh ini, Indonesia menjadi salah satu negara yang berencana menjadikan bukti vaksinasi sebagai syarat perjalanan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan masyarakat yang telah menerima vaksinasi virus Covid-19 akan mendapatkan sertifikat.
Sertifika itu bisa dijadikan syarat perjalanan. Sehingga mereka yang telah mendapatkan vaksinasi tidak perlu menjalani tes pemeriksaan Covid-19.
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengingatkan bahwa vaksin virus corona tak dapat memutuskan mata rantai penularan. Setelah divaksin, masyarakat masih bisa menularkan atau tertular virus meski tingkat presentase penularannya belum diketahui.
Sehingga mereka yang telah divaksin bukan berarti aman melakukan perjalanan. Dicky khawatir wacana pemberian sertifikat bagi yang disuntik vaksin tersebut akan membuat mobilitas masyarakat cenderung tinggi.
“Ketika orang sudah divaksin, kemudian bepergian menggunakan sertifikat pengganti tes pemeriksaan, itu salah. Aturan itu kurang tepat dan berbahaya,” kata Dicky kepada Katadata.co.id, Jumat (15/1).
Dicky menjelaskan mata rantai Covid-19 bisa diputus dengan gerakan 5M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mengurangi mobilitas, dan menghindari kerumunan. Adapun pemerintah melakukan 3T yakni testing, tracing, dan treatment.
Menurutnya, langkah ini sebagai upaya dalam menekan penyebaran virus. “Saya tekankan, vaksin bukan segalanya. Vaksin tidak akan sukses tanpa penerapan 3T dan 5M,” ujarnya.
Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono juga menyebutkan vaksinasi hanya merangsang antibodi untuk mengurangi risiko tidak sakit, bukan mencegah penularan. "Setelah suntik kedua juga perlu waktu tunggu hingga tiga minggu supaya antibodinya cukup menangkal Covid-19 yang berat," kata dia.
Dia menjelaskan pencegahan penularan Covid-19 melalui konsep berlapis-lapis atau dengan istilah pencegahan dengan keju Swiss. Setelah vaksin, harus tetap menjaga protokol kesehatan. "Karena tidak ada satu cara pun yang sangat sempurna, maka pencegahan dilakukan dengan beragam cara mulai dari memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, pelacakan kasus, hingga vaksin," kata dia.
Adapun pengamat penerbangan Gatot Raharjo menyatakan wacana tersebut dapat dianggap sebagai strategi agar masyarakat mau divaksin. Dia memperkirakan usulan tersebut akan mendapat sambutan para penumpang karena mengurangi biaya untuk pemeriksaan Covid-19. Apalagi vaksin yang akan diterima pun gratis. “Namun, tetap harus dipastikan bahwa sertifikat itu tidak bisa dipalsukan,” ujar Gatot.
Ia melanjutkan, tanpa sertifikat pun, sebenarnya penyebaran virus di dalam pesawat cenderung minim. Sebab, pesawat telah dilengkapi High Efficiency Particulate Air (HEPA) yang mampu menyaring udara.
“HEPA ini bisa menyaring virus sampai 99%. Makanya penularan di pesawat itu hampir tidak ada,” kata dia.
Kendati menyambut baik rencana tersebut, Gatot mengingatkan pemerintah untuk konsisten dalam mengambil keputusan. “Apapun kebijakan pemerintah, asal untuk penanganan Covid-19 dan bisa meyakinkan masyarakat untuk terbang, akan berdampak positif bagi penerbangan. Asal kebijakannya tidak berubah-ubah,” ujarnya.