Beberapa negara mulai menghentikan penggunaan vaksin virus corona buatan Johnson & Johnson setelah muncul kasus efek samping pembekuan darah. Badan otoritas kesehatan beberapa negara telah merekomendasikan penghentian penggunaan setelah muncul efek samping yang mirip dengan vaksin AstraZeneca.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) pada Rabu (14/4), merekomendasikan penghentian sementara penggunaan vaksin Johnson & Johnson. Rekomendasi itu setelah muncul enam kasus pembekuan darah dengan di antaranya seorang perempuan berusia 45 tahun meninggal dunia dan satu orang dalam kondisi kritis.
"FDA akan menyelidiki kasus-kasus ini, sampai proses penyelidikan selesai, kami merekomendasikan jeda dalam penggunaan vaksin ini,"
kata Peter Marks, direktur dari Pusat Evaluasi dan Penelitian Biologi FDA, dikutip dari CNN.
Kasus pembekuan darah ini membuat Johnson & Johnson menunda peluncuran vaksinnya di Eropa. Johnson & Johnson mengatakan akan menghentikan vaksinasi di semua uji klinis vaksin Covid-19 hingga mereka "memperbarui panduan untuk peneliti dan peserta."
"Kami telah bekerja sama dengan ahli medis dan otoritas kesehatan, dan kami sangat mendukung komunikasi terbuka informasi ini kepada profesional perawatan kesehatan dan publik," bunyi pernyataan J&J.
Perusahaan farmasi ini juga menyarankan mereka yang mengalami sakit kepala parah, sakit perut, sakit kaki atau sesak napas dalam tiga minggu setelah vaksinasi, harus menghubungi petugas kesehatan setempat.
Pemerintah AS telah menyuntikan vaksin Johnson & Johnson sebanyak 6,8 juta dosis. Negara lain yang telah menerima vaksin ini yakni Belgia sebanyak 36 ribu dosis pada pekan ini dan diperkirakan akan menerima lagi lebih dari 62.400 pada bulan depan.
Belgia pun memutuskan menghentikan sementara penggunaan vaksin ini . Deret negara lain yang menghentikan penggunaan Johnson & Johnson yakni Denmark dan Afrika Selatan.
Metode Vaksin Johnson & Johnson Mirip AstraZeneca
Pakar kesehatan dari Universitas Emory-AS, Carlos del Rio, mengatakan kasus pembekuan darah pada vaksin Johnson & Johnson kemungkinan terkait dengan metode pembuatan vaksin yakni viral vector adenovirus. Metode ini juga digunakan oleh AstraZeneca.
Vaksin Johnson & Johnson dan AstraZeneca mengembangkan vaksin dari virus flu biasa yang telah direkayasa (adenovirus). Para peneliti memodifikasinya untuk mengandung materi genetik yang dimiliki virus corona, tapi tidak menyebabkan penyakit. Setelah penerima menerima vaksin tersebut, tubuh akan membuat sistem kekebalan untuk melawan virus yang sebenarnya.
Studi Badan Pengatur Produk Kesehatan dan Obat-obatan (MHRA) Inggris menunjukkan penggumpalan darah pada vaksin AstraZeneca terkait tingkat trombosit yang rendah pada pasien terjadi setelah menerima vaksin.
Trombosit adalah sel darah kecil yang membantu manusia membentuk gumpalan untuk menghentikan pendarahan. Di antara gumpalan ini adalah jenis trombosis sinus vena serebral (CSVT) yang berada di pembuluh darah besar di kepala. Kemunculan gumpalan ini dapat membuat aliran darah ke otak terhenti.
Risikonya adalah sel darah bisa pecah dan bocor ke jaringan otak sehingga menyebabkan stroke. CVST, menurut John Hopkins School of Medicine, merupakan jenis stroke langka dan mempengaruhi sekitar lima dari sejuta orang setiap tahun.
Kasus pembekuan darah akibat vaksin AstraZeneca terjadi pada 222 orang dari 34 juta penerima di Eropa. Sebagian besar terjadi pada wanita berusia 60 tahun
Berbeda dengan vaksin lain, Johnson & Johnson ini digunakan untuk sekali suntik. Beberapa negara memborong vaksin ini karena dianggap efisien dibanding yang lain.
AS pun memesan 100 juta dosis untuk pengiriman akhir Juni 2021. Selain AS, Inggris telah memesan 30 juta dosis, Uni Eropa 200 juta dosis, Kanada 38 juta dosis, dan 500 juta dosis dipesan melalui skema Covax untuk memasok negara-negara yang lebih miskin.