Ribuan Investor Cina Terjerat Investasi 'Shadow Banking' Evergrande

ANTARA FOTO/REUTERS/Tingshu Wang/AWW/dj
Seorang perempuan berpose di sebuah pusat perbelanjaan dekat pusat CCTV dan pencakar langit China Zun di distrik pusat bisnis Beijing (CBD), Cina, Kamis (16/7/2020).
Penulis: Yuliawati
27/9/2021, 19.53 WIB

Puluhan ribu investor yang membeli produk investasi Evergrande terkena getah krisis utang yang melilit perusahaan properti raksasa di Cina. Selain menerbitkan obligasi yang bermata uang dolar dan yuan, Evergrande juga menawarkan produk manajemen kekayaan (wealth management products/WMP) yang berpotensi gagal bayar.

WMP tersebut dijual dengan bunga tinggi dalam sistem shadow banking. Shadow banking melibatkan perantara keuangan non-bank yang menyediakan pinjaman. Mekanismenya menyerupai sistem perbankan komersial, tapi tanpa pengawasan atau aturan pemerintah.

Bloomberg melaporkan kesulitan Evergrande membayar kewajibannya membuat para peminjam atau agen trust kewalahan. Sebagian dari mereka menalangi membayar pengembalian dana yang jatuh tempo kepada investor-investor besar atas nama Evergrande. Selain itu, para peminjam lain tengah melakukan upaya negosiasi kepada para investor terkait tenggat pembayaran pinjaman.

Berdasarkan data Bloomberg, produk WMP Evergrande yang jatuh tempo dan berpotensi gagal bayar diperkirakan 40 miliar yuan (setara US$ 6,2 miliar) atau sekitar Rp 88 triliun. Masyarakat yang khawatir uangnya tak bisa kembali ini menggelar demonstrasi dan berharap pemerintah segera menemukan solusi atas keadaan tersebut.

Evergrande mulai mencari pendanaan lewat shadow banking setelah pemerintah Cina membatasi perbankan memberikan pinjaman kepada industri properti. Sejak Agustus 2020 Beijing mendorong perusahaan properti mengendalikan utang di perbankan yang terlalu banyak dan mengurangi spekulasi.

Kesulitan mencari pinjaman perbankan membuat Evergrande menjual produk WMP kepada publik, karyawan hingga mitra kontruksi. Perusahaan mengiming-imingi pengembalian dana dengan bunga 5%-10%, dengan investasi minimum 100.000 yuan.

Selain terbelit pengembalian dana atas produk WMP, Evergrande juga gagal memenuhi kewajiban membayar bunga obligasi US$ 83,5 juta atau lebih Rp 1,2 triliun yang jatuh tempo pada Kamis pekan lalu. Ada pula pembayaran bunga surat utang senilai US$ 47,5 juta atau sekitar Rp 676 miliar. Kedua obligasi akan gagal bayar apabila Evergrande tidak melunasinya dalam waktu 30 hari setelah jatuh tempo.

Bloomberg mencatat Evergrande memiliki kewajiban membayar kupon obligasi US$ 669 juta atau sekitar Rp 9,5 triliun hingga akhir tahun ini.



Selain kewajiban terhadap obligasi dan bunganya, perusahaan juga memiliki utang lebih dari US$ 300 miliar atau setara Rp 2.437 triliun. Angkanya tidak jauh dari produk domestik bruto (PDB) Filipina 2020 yang sekitar US$ 361,5 miliar, menurut data Bank Dunia. Sebagian besar utang ini merupakan kewajiban kepada pembeli rumah, pemasok, dan lembaga keuangan lokal.

Bank Sentral Cina kembali memompa likuiditas ke sistem keuangan setelah biaya pinjaman naik akibat risiko yang ditimbulkan olen krisis utang Evergrande. People Bank of China menggelontorkan 100 miliar yuan atau setara Rp 220 triliun pada Senin (27/9), setelah menyuntikkan 50 miliar yuan sebelumnya untuk menurunkan tingkat bunga repo tenor tujuh hari.

Total likuiditas yang telah digelontorkan PBoC selama enam hari terakhir mencapai 500 miliar yuan atau sekitar Rp 1.100 triliun.  Moody’s Investors Service menilai Cina akan berusaha untuk menghindari ketidakstabilan sosial dan keuangan yang berasal dari penyelesaian masalah Evergrande. Namun, ini membutuhkan biaya ekonomi yang besar.

Pemerintah Cina berusaha melindungi pembeli rumah, pemasok, dan kontraktor perusahaan. Namun, masalah keuangan Evergrande dapat membatasi akses pendanaan untuk perusahaan properti dan perusahaan Cina lainnya untuk menerbitkan utang.

 Penyumbang bahan: Akbar Malik