Ekonomi Jepang turut dihantui kondisi stagflasi, kekhawatiran yang juga tengah dihadapi sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat dan Cina. Inflasi pada harga grosir di Jepang meroket ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir pada Oktober, menunjukkan kenaikan harga-harga di tingkat perusahaan.
Lonjakan pada inflasi harga grosir Jepang terutama disebabkan masalah rantai pasok yang belum membaik. Selain itu, peningkatnya tekanan biaya, ditambah dengan melemahnya yen turut menggelembungkan harga barang-barang impor. Ini semakin menambah kepedihan bagi ekonomi terbesar ketiga di dunia itu karena terjadi bersamaan dengan merosotnya konsumsi akibat pandemi.
Indeks harga barang perusahaan (CGPI) Jepang melonjak 8% secara tahunan pada Oktober. Ini melebihi ekspektasi pasar sebesar 7%, serta jauh di atas kinerja bulan sebelumnya 6,4%. Indeks ini mengukur harga yang dibebankan perusahaan untuk harga barang dan jasa.
Harga grosir naik untuk berbagai barang termasuk bahan bakar, yang melonjak 44,5% pada Oktober dari tahun sebelumnya, dan barang kayu, yang melonjak 57,0%.
Perusahaan Jepang sejauh ini berhati-hati dalam membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen karena kekhawatiran bahwa rumah tangga sensitif terhadap kenaikan biaya yang bisa menahan pengeluaran.
Langkah ini mendorong indeks harga konsumen inti hanya inflasi 0,1% secara tahunan pada September. Kendati demikian, inflasi inti September merupakan kenaikan pertama setelah terus deflasi sejak Maret tahun lalu dan stagnan pada Agustus 2021.
Sejumlah perusahaan tampaknya berencana untuk menaikkan harga karena perusahaan kini tidak akan lagi menanggung kenaikan biaya sendiri melainkan akan ikut melimpahkannya kepada konsumen. Survei Reuters terbaru menunjukkan 40% perusahaan di Jepang berencana melakukan langkah tersebut.
Ini mengindikasikan adanya potensi kenaikan harga-harga di tingkat konsumen sebagai limpahan dari inflasi di sektor grosir. Stagflasi pun tengah membayangi ekonomi negeri sakura itu. Stagflasi adalah kondisi saat inflasi terus meningkat, tetapi perekonomian stagnan bahkan melambat.
"Dengan meningkatnya beban perusahaan dan rumah tangga, kenaikan harga grosir memiliki dampak negatif yang besar terhadap perekonomian," kata ekonom di Daiwa Securities Toru Suehiro.
Survei Reuters memperkirakan ekonomi Jepang akan terkontraksi 0,8% secara tahunan pada kuartal ketiga 2021. Ini merosot setelah berhasil tumbuh 1,9% pada kuartal sebelumnya. Penurunan konsumen terutama dipengaruhi konsumsi yang diperkirakan terkontraksi 0,5%.
Meski demikian, bank sentral Jepang (BOJ) mencoba menenangkan pasar bahwa stagflasi tampaknya masih jauh. Hal ini karena inflasi di sejumlah negara seperti Eropa dan Amerika Serikat dinilai hanya sesaat. Sementara di Jepang, belum ada tanda-tanda kenaikan harga yang signifikan.
"Jepang mengalami stagflasi pada 1970-an. Ekonomi Jepang merosot karena pandemi tetapi pulih dan inflasi tidak meningkat banyak. Adapun ekonomi AS dan Eropa, inflasi meningkat tetapi kemungkinan bersifat sementara," kata Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda dalam konferensi persnya akhir bulan lalu.
Sekalipun inflasi meradang di Cina dan AS, inflasi yang masih rendah mendorong BOJ juga tetap mempertahankan kebijakan moneter longgar. Hal ini sebagai respon terhadap tekanan pandemi yang masih berlangsung, dan akan dipertahankan sampai inflasi konsumen mencapai target 2%.