Inflasi Turki Capai 61% pada Maret 2022, Erdogan Janji Lindungi Negara

ANTARA FOTO/REUTERS/Presidential Press Office
Presiden Turki Tayyip Erdogan
Penulis: Lavinda
9/4/2022, 14.37 WIB

Turki mengalami kenaikan inflasi konsumen tahunan mencapai 61,14% pada Maret 2022, melonjak ke level tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Dikutip dari Reuters, Lembaga Statistik Turki mencatat, harga konsumen dalam perhitungan bulanan naik 5,46%. Data menunjukkan, inflasi Turki didorong oleh kenaikan harga energi dan komoditas, karena dampak konflik Rusia-Ukraina yang mendorong pelemahan mata uang lira tahun lalu.

Inflasi tertinggi di Turki terjadi pada kelompok transportasi yang mencapai 99,12% dalam perhitungan tahunan atau year on year (yoy). Diikuti kelompok makanan dan minuman non-alkohol sebesar 70,33% (yoy).

Sementara itu, inflasi terendah terjadi pada kelompok komunikasi, yakni sebesar 15,08% (yoy), pendidikan 26,73% (yoy), serta pakaian dan alas kaki 26,95% (yoy).

Menanggapi kondisi tersebut, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan berjanji untuk melindungi negaranya dari kenaikan inflasi, menegaskan tujuan pemerintahnya untuk menjadi salah satu dari 10 ekonomi terbesar di dunia.

“Ketika ekonomi Turki bersiap untuk menjadi salah satu dari 10 ekonomi dunia, kami telah menyatakan bahwa kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini dengan langkah-langkah sembrono," ujar Erdogan dalam pertemuan dengan anggota parlemen, dikutip dari media Turki, Hurriyet Daily News.

Erdogan menyatakan akan keluar dari masalah tersebut dengan cara yang tidak akan mencederai nasib masyarakatnya. "Kami akan bersabar, bertahan dan berjuang bersama dengan bangsa, dan kami akan mencapai hasilnya, ”katanya.

Inflasi telah melonjak sejak musim gugur lalu, ketika nilai tukar lira merosot. Pelemahan lira terjadi setelah bank sentral turki, CBRT meluncurkan siklus pelonggaran 500 basis poin.

"Kebijakan CBRT tidak bekerja dalam melawan inflasi. Konsensus yang luar biasa adalah bahwa pengaturan kebijakan CBRT yang tidak ortodoks merupakan penyebab utama inflasi," kata Tim Ash dari BlueBay Asset Management dikutip Reuters.

Menurut Ash, perang di Ukraina telah memperburuk kondisi ekonomi Turki. Tidak ada bank yang mengalami kenaikan inflasi tahunan sebesar 5% sejak 2011.

Data tersebut berdampak kecil pada lira, yang melemah 0,15% menjadi 14,715 terhadap dolar AS. Mata uang lokal Turki jatuh 44% pada 2021 dan kembali melemah 10% tahun ini.

Pemerintah mengatakan, inflasi akan turun ke satu digit tahun depan di bawah program ekonomi baru, yakni memprioritaskan suku bunga rendah untuk meningkatkan produksi dan ekspor. Hal ini bertujuan untuk mencapai surplus transaksi berjalan.

Kendati demikian, data menunjukkan, defisit perdagangan melebar 77% pada Maret ini dalam perhitungan tahunan menjadi US$8,24 miliar, dengan peningkatan terbesar pada nilai impor energi, yakni 156%.

Pendiri Burumcekci Consulting, Haluk Burumcekci mengatakan, inflasi bisa mencapai 70%-75%, bahkan jika lira tidak melemah dari level saat ini. Menurut dia, inflasi hanya bisa mereda di level dasar pada bulan-bulan terakhir tahun ini.

"Sama sekali tidak mudah bagi CBRT untuk mempertahankan sikap kebijakan moneternya yang longgar," katanya.

Ekonom menaikkan ekspektasi inflasi Turki secara global setelah invasi Rusia ke Ukraina, dengan harga energi mencapai tertinggi multi-tahun. Hal ini akibat Barat memberikan sanksi kepada Moskow. Turki mengimpor hampir semua kebutuhan energinya.