Xi Jinping Temui Putin dalam Kunker Luar Negeri Pertama Pasca Pandemi

ANTARA FOTO/REUTERS/Jason Lee
Presiden China Xi Jinping tiba untuk upacara sambutan di Balai Agung Rakyat, di Beijing, China, Jumat (25/10/2019).
12/9/2022, 07.51 WIB

Presiden Cina, Xi Jinping, akan melakukan perjalanan luar negeri pertama kalinya sejak dua tahun lebih. Xi jinping akan menghadiri The Shanghai Cooperation Organization's (SCO) summit di Uzbekistan dan dijadwalkan menemui Presiden Rusia, Vladimir Putin, dalam agenda tersebut.

Perjalanan ke luar negeri itu merupakan pertama kalinya bagi Xi Jinping sejak pandemi Covid-19. Presiden Cina yang saat ini tengah mengalami krisis Taiwan tersebut dijadwakan melakukan kunjungan kenegaraan ke Uzbekistan pada Rabu (14/9).

Pertemuan kedua pemimpin negara tersebut dikonfirmasi oleh Rusia. Pembantu kebijakan luar negeri Putin, Yuri Ushakov, pada pekan lalu mengatakan bahwa Putin diperkirakan akan bertemu dengan Xi . Namun dia menolak memberikan agenda pertemuan tersebut secara rinci.

Pertemuan tersebut menyoratkan kepercayaan diri Xi Jinping terhadap pengaruh Cina dalam perdagangan dunia. Sementara Putin dapat menunjukkan kecenderungan Rusia terhadap Asia. Kedua pemimpin dapat menunjukkan penentangan mereka terhadap Amerika Serikat seperti halnya negara barat berusaha untuk menghukum Rusia atas perang Ukraina.

"Xi ingin menunjukkan betapa percaya diri dia di dalam negeri dan dilihat sebagai pemimpin internasional negara-negara yang menentang hegemoni Barat," kata George Magnus, penulis "Bendera Merah", sebuah buku tentang tantangan Xi, seperti dikutip dari Reuters, Senin (12/9).

Kemitraan yang mendalam antara negara adidaya Cina yang sedang naik daun dan raksasa sumber daya alam Rusia adalah salah satu perkembangan geopolitik yang paling menarik dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini sekaligus membuat khawatir negara-negara barat.

Uni Soviet pernah menjadi mitra senior dalam hierarki Komunis global. Setelah Uni Soviet runtuh pada 1991, Rusia saat ini dianggap sebagai mitra junior dari kebangkitan kembali Cina yang diperkirakan akan menyalip Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia dalam dekade berikutnya.

Tidak ada tanda-tanda bahwa Xi akan menghentikan dukungannya untuk Putin dalam konfrontasi paling serius Rusia dengan Barat sejak puncak Perang Dingin. Sebaliknya, kedua pemimpin berusia 69 tahun itu memperdalam hubungannya. Perdagangan antara Rusia dan Cina pun melonjak hampir sepertiga kali dalam 7 bulan pertama tahun 2022.

"Kunjungan itu menunjukkan bahwa Cina bersedia untuk tidak hanya melanjutkan bisnis seperti biasa dengan Rusia, tetapi bahkan menunjukkan dukungan eksplisit dan mempercepat pembentukan keselarasan China-Rusia yang lebih kuat," kata Alexander Korolev, dosen senior politik dan hubungan internasional di UNSW, Sydney.

"Beijing enggan menjauhkan diri dari Moskow bahkan ketika menghadapi biaya reputasi yang serius dan risiko menjadi target sanksi ekonomi sekunder," ujarnya.

 Sejak invasinya ke Ukraina pada akhir Februari 2022, Rusia sudah menerima rentetan sanksi ekonomi dari berbagai negara dan lembaga internasional, mulai dari pembatasan perdagangan sampai pembekuan cadangan devisa.

Kendati demikian, berbagai sanksi tersebut tampaknya belum cukup kuat "menghajar" perekonomian Rusia. Hal ini salah satunya terindikasi dari nilai tukar mata uang Rusia, yakni rubel, yang dalam beberapa bulan belakangan cenderung terus menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Menurut data dari Yahoo Finance, nilai tukar rubel terhadap dolar AS memang sempat jatuh menjadi rata-rata US$0,012 per rubel pada Februari-Maret 2022, tak lama setelah perang meletus. Namun, di bulan-bulan berikutnya Rubel mengalami penguatan hingga mencapai rata-rata US$0,0167 per rubel pada Agustus 2022. Level ini bahkan lebih tinggi dari masa sebelum Rusia menginvasi Ukraina, seperti terlihat pada grafik.