Kominfo Ungkap 6 Alasan Pentingnya Migrasi Televisi Analog ke Digital

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.
Ilustrasi, siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) mengikuti kegiatan belajar mengajar di rumah melalui siaran televisi TVRI di Depok, Jawa Barat, Selasa (14/4/2020).
7/7/2020, 13.46 WIB

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan enam alasan pentingnya migrasi televisi analog ke digital. Namun, pembahasan revisi Undang-undang atau UU Penyiaran yang menaungi kebijakan ini justru ditunda lagi menjadi tahun depan.

Alasan pertama, Indonesia termasuk negara tertinggal dalam proses digitalisasi penyiaran secara global. Pada 2007, anggota The International Telecommunication Union (ITU) menggelar World Radiocommunication Conference.

Mereka sepakat untuk menata pita spektrum radio untuk televisi terestrial. Sejak saat itu, negara-negara di kawasan Eropa, Afrika, Asia, dan lainnya membuat keputusan bersama pada 2015 untuk menuntaskan migrasi televisi dari analog ke digital atau Analog Switch Off (ASO).

(Baca: Pembahasan Revisi UU Penyiaran yang Atur Netflix Mundur Lagi Jadi 2021)

Negara-negara di Eropa pun menyelesaikan ASO satu dekade lalu. Di Asia, Jepang sudah menyelesaikan ASO pada 2011. Setahun kemudian Korea Selatan menyusul.

Negeri jiran seperti Thailand dan Vietnam juga menyelesaikan ASO secara bertahap tahun ini. Sedangkan Malaysia dan Singapura telah menyelesaikannya pada tahun lalu.

"Sekarang, masyarakat di negara-negara itu menikmati televisi dengan teknologi digital kualitas gambar dan suara baik," kata Menteri Kominfo Johnny Plate saat konferensi pers secara virtual, kemarin (6/7). Oleh karena itu, ASO harus segera dilakukan.

Kedua, dari arah kebijakan nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan percepatan transformasi digital Indonesia. "Sektor penyiaran khususnya televisi merupakan salah satu agenda penting yang masuk di dalamnya," kata dia.

(Baca: DPR Targetkan Revisi UU Penyiaran yang Atur Netflix Terbit Akhir 2020)

Johnny meminta semua pihak mengambil langkah yang sesuai dengan kebijakan nasional itu. "Pihak yang tidak sejalan, ini sama saja menghambat misi besar pemerintah," katanya.

Ketiga, migrasi televisi membuat kualitas siaran lebih optimal. Saat ini, perangkat televisi yang canggih tidak diimbangi dengan layanan siaran yang baik.

Data Nielsen mengungkapkan bahwa 69% masyarakat Indonesia mengakses siaran televisi lewat terestrial dengan teknologi analog. "Ini ironi, masyarakat sudah punya televisi pintar (smart televisi) namun belum sepenuhnya menikmati siaran digital," ujarnya.

Keempat, ASO dianggap meningkatkan efektivitas industri penyiaran. Namun, baru TVRI yang menggunakan siaran digital.

Masih ada 1.027 lembaga penyiaran televisi swasta, lokal dan komunitas yang masih menggunakan terestrial analog. (Baca: UU Penyiaran Belum Atur YouTube-Netflix, RCTI & iNews Gugat ke MK )

Kelima, digitalisasi televisi membuat freskuensi di 700 Mhz bisa ditata ulang dan dimanfaatkan untuk layanan lain seperti internet cepat. Pita frekuensi ini sebelumnya digunakan untuk siaran televisi.

Padahal, frekuensi itu dinilai cocok untuk mendukung internet kecepatan tinggi. Sedangkan untuk siaran digital bisa menggunakan 112 Mhz.

Terakhir, terkait hubungan antarnegara. Ada kekhawatiran munculnya potensi permasalahan dengan negara tetangga di perbatasan, jika belum ada digitalisasi siaran televisi.

Sebab, perlu penataan frekuensi radio yang diharmonisasi dengan negara tetangga, khususnya di perbatasan. (Baca: Pengawasan Netflix Dkk Libatkan 4 Kementerian, DPR Usul Perpres)

Akan tetapi, pembahasan revisi UU Penyiaran justru ditunda menjadi tahundepan. Padahal isu migrasi dari televisi analog ke digital ini sudah disampaikan sejak 2011.

Namun, Kominfo tetap berupaya mendorong migrasi terjadi tahun ini. Jika tak masuk dalam revisi UU Penyiaran, kementerian berharap regulasi terkait migrasi ini diatur dalam Rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kementerian menargetkan migrasi televisi analog ke digital rampung sebelum 2024. "Perkembangannya, kami ajukan batas akhir implementasi digitalisasi TV dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja," kata Johnny.

Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, pembahasan revisi UU Penyiaran dialihkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 sebagai bentuk rasionalisasi. Parlemen menyadari bahwa sulit untuk membahas 50 RUU yang masuk pada 2020.

"Hingga masa sidang ini, hampir seluruh rapat di Komisi I berfokus pada pengawasan Covid-19," kata Meutya. "Sulit selesai tahun ini. Kami targetkan pembahasan revisi UU Penyiaran di 2021.”

(Baca: Asosiasi TV Swasta Dukung Gugatan UU Penyiaran Soal YouTube & NetFlix)

Reporter: Fahmi Ahmad Burhan