Tatkala memasuki era digital, seorang individu otomatis menjadi warga negara digital alias warganet. Kesadaran digital citizenship merupakan salah satu indikator kecakapan dalam budaya digital. Sejalan dengan ini, kedewasaan dalam bermedia sosial menjadi hal penting.
Mengutip modul literasi digital yang dirilis Kominfo, kedewasaan yang dimaksud salah satunya dengan meningkatkan kemampuan membangun mindful communication tanpa stereotip dan pandangan negatif. Hal ini dapat ditempuh dengan memperbaiki kemampuan literasi media.
Terkait literasi digital di Indonesia, lebih jauh dapat disimak pada grafik di bawah ini.
Data di atas menunjukkan hasil Survei Indeks Literasi Digital Indonesia yang dilaksanakan pada 4 - 24 Oktober 2021, yang mana kegiatan Literasi Digital di 514 Kab/Kota pada 34 Provinsi terus berlangsung. Metodologi pengambilan sampel survei menggunakan multistage random sampling dengan teknik home visit di area survei.
Survei terkait literasi digital nasional tersebut melibatkan 10 ribu responden yang tersebar di 34 provinsi di 514 kabupaten/kota. Responden merupakan anggota rumah tangga berusia 13 - 70 tahun dan mengakses internet dalam 3 bulan terakhir.
Kembali ke soal warga negara digital, masyarakat perlu menyadari bahwa kita semua menjadi bagian dari negara yang majemuk, multikultural, sekaligus demokratis. Dengan begitu, penting menanamkan multikulturalisme dan pluralisme sejak dini. Apalagi, saat ini kita berhadapan dengan generasi masa kini, yaitu para digital native (warga digital).
Kedewasaan dalam mencerna informasi dipengaruhi oleh berbagai hal yang salah satunya oleh pendidikan karakter. Artinya, dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan kecerdasan kognitif seseorang, namun juga berhubungan dengan nilai-nilai diri, kondisi ekonomi, kebiasaan hidup dan lingkungan tempat tinggalnya.
Orang yang sulit menyaring informasi mudah terpapar oleh hoaks. Hoaks atau informasi bohong dapat melunturkan penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam diri seseorang, Bahkan juga mengakibatkan perpecahan di dalam kelompok, golongan, suku maupun bangsa.
Lantas, apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kecakapan digital diri? Berdasarkan Modul Budaya Bermedia Digital yang diterbitkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan GNLD SiberKreasi, ada beberapa tips yang bisa Anda coba.
1. Berpikir Kritis
Berpikir kritis melatih kita untuk tidak sekedar berbagi (sharing). Sebelum berbagi informasi, penting untuk mempertimbangkan apakah konten yang akan kita distribusikan itu sesuai fakta, objektif, penting dan tidak menyakiti pihak lain.
Selanjutnya, perlu dipastikan pula, apakah konten tersebut berasal dari sumber yang kredibel? Apakah konten itu komprehensif dan mencakup pandangan dari banyak perspektif?
Jika Anda bisa memastikan itu semua, silakan share informasi tersebut. Jika tidak, ada baiknya untuk mengurungkan niat berbagi informasi. Pastikan bahwa aktivitas membagikan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya berhenti di Anda saja.
2. Meminimalisasi Unfollow, Unfriend dan Block
Menjadi warganet artinya siap berhadapan dengan pengguna internet dari latar belakang yang beragam. Tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Untuk itu, sangat penting untuk melatih kematangan bermedia dari diri sendiri.
Dengan menjadi warganet artinya Anda siap berhadapan dengan pengguna internet dari latar belakang yang beragam. Perlu diketahui bahwa tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Untuk itu, sangat penting untuk Anda dapat melatih kematangan bermedia dari diri sendiri.
Salah satu bukti kematangan bermedia sosial adalah tidak mudah memutuskan pertemanan. Meski fitur unfollow, unfriend dan block di media sosial bisa digunakan, namun ada baiknya untuk mendewasakan diri.
Algoritma internet merekam perilaku bermedia seseorang dalam sebuah big data. Kemudian, algoritma itu menyajikan konten yang sesuai dengan personalisasi kebiasaan bermedia orang tersebut. Jika tidak menyadari hal ini, seseorang bisa terjebak dalam echo chamber dan filter bubble.
Echo chamber adalah ruang yang seolah-olah ramai dengan beragam komentar, tetapi sebenarnya hanya berisi gaungan opini-opini yang seragam. Opini-opini yang ada adalah amplifikasi dari satu perspektif, bahkan seringkali berasal dari satu sumber saja.
Sedangkan filter bubble atau gelembung saringan adalah ruang yang tersaring dari suara-suara yang tidak sesuai dengan personalisasi diri. Hal ini tercipta sesuai algoritma internet yang sebenarnya bersumber dari jejak digital pengguna internet selama berselancar di dunia maya. Otomatis, perspektif yang ada tidaklah banyak, alias hanya itu-itu saja.
Baik echo chamber maupun bubble filter sama-sama menciptakan situasi yang membuat seseorang berhadapan dengan keseragaman. Akibatnya, seseorang kerap merasa dirinya paling benar. Sebab, ia terhalangi untuk melihat realitas yang lebih beragam di dunia maya.
3. Ikut Mengampanyekan Literasi Digital
Tak ada salahnya menjadi warganet yang partisipatif. Apalagi, inisiatif kampanye literasi sangat penting. Pada konteks ini, Anda bisa ikut mengedukasi orang-orang di sekitar Anda untuk lebih berhati-hati dalam menyaring informasi. Dengan mengedukasi orang lain tentang literasi digital, Anda turut menciptakan kebiasaan baik di lingkungan Anda dan menjadi warganet yang cerdas.
4. Aktif Mengikuti Pelatihan dan Kegiatan Rutin Literasi Digital
Kementerian Kominfo melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) SiberKreasi rutin menyelenggarakan berbagai kampanye, pelatihan dan acara menarik lain terkait literasi digital. Pelatihan-pelatihan itu terkait penguasaan terhadap TIK, public speaking, gim dan lain-lain.
Anda bisa mengajak keluarga dan rekan-rekan Anda untuk ikut berperan serta. Cek info.literasidigital.id untuk informasi lebih lanjut.