Dampak Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19 terhadap Anggaran

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.
Pekerja melapisi peti jenazah khusus untuk korbanCOVID-19 yang sudah selesai dibuat dengan plastik tebal di rumah industri pembuatan peti mati Gate Way Funeral Service Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (14/4/2020). Industri rumahan tersebut terus kebanjiran permintaan peti jenazah dengan standart COVID-19 dari berbagai Rumah Sakit rujukan COVID-19 di Jakarta, Tangerang dan luar Jakarta, dalam satu hari mampu memproduksi sepeuluh peti jenazah.
Penulis: Pingit Aria
14/4/2020, 15.01 WIB

Kriteria Bencana Nasional

Penetapan status bencana nasional merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 7 ayat 2, disebutkan bahwa penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah ditentukan dari sejumlah indikator. Di antaranya adalah, jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

Kemudian, penetapan status bencana nasional juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Dalam regulasi ini disebutkan bahwa Presiden lah yang berwenang menetapkan status bencana nasional.

(Baca: Jokowi Waspadai Dampak Corona terhadap Ekonomi Berlanjut Tahun Depan)

Secara umum, ada dua status bencana yakni daerah dan nasional. Status bencana daerah dikeluarkan ketika sebuah bencana masih bisa ditangani oleh pemerintah di daerah tersebut. Misalnya, saat bencana alam terjadi di sebuah kabupaten, pemerintah provinsinya masih sanggup menanggulanginya.

Sedangkan status bencana nasional dapat dikeluarkan ketika bencana tersebut terjadi di beberapa lokasi dan gubernur sudah tidak sanggup menanganinya.

Daftar Bencana Nasional

Pemerintah telah tiga kali menetapkan status bencana nasional, sebelum wabah Covid-19. Kendati, Covid-19 merupakan satu-satunya yang disebut sebagai bencana non-alam.

Status bencana nasional pertama kali ditetapkan pada tsunami Aceh yang menewaskan 130 ribu jiwa. Gempa dan tsunami yang terjadi pada 2004 itu praktis melumpuhkan pemerintah daerah, sehingga pemerintah pusat mengambil alih penanggulangannya.

Kemudian, Gempa dengan magnitudo 7,8 di Flores Timur pada12 Desember 1992 yang menewaskan 2.500 jiwa dan melukai 2.103 jiwa. Pada hari yang sama, tsunami Flores 1992 tercatat menewaskan 2.400 jiwa di wilayah Sikka.

(Baca: Kasus Corona Hampir 20 Ribu, Jokowi Usul ASEAN Bentuk Protokol Bersama)

Sedangkan, beberapa bencana lain seperti gempa 7,0 magnitudo pada 5 Agustus dan gempa 6,9 magnitudo pada 19 Agustus 2018 Lombok, Nusa Tenggara Barat tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.

Padahal, Badan Nasional Penanggulanagan Bencana (BNPB) mencatat 515 meninggal dunia, 7.145 orang mengalami luka-luka, 431.416 orang mengungsi, 73.843 rumah mengalami kerusakan, dan 798 fasilitas umum & fasilitas sosial rusak.

Begitu juga bumi Yogyakarta (27/5/2006) yang menewaskan 5.773 jiwa, melukai 32.081 jiwa hanya berstatus bencana daerah. Lebih dari 2 juta orang terdampak dan mengungsi, serta 390.077 unit rumah rusak berat. Diperkirakan, kerugian akibat gempa ini mencapai Rp 29,2 triliun.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution