Mengenal Badai Sitokin yang Sebabkan Kematian Penderita Virus Corona

ANTARA FOTO/REUTERS/Alessandro Garofalo/foc/dj
Alessandro Garofalo Petugas pemakaman melihat peti jenazah dua pasien terinfeksi virus corona (COVID-19) saat upacara pemakaman di kota selatan Cisternino, Italia, Senin (30/3/2020).
31/3/2020, 12.56 WIB

Pandemi Corona menurut data John Hopkins University & Medicine per 31 Maret telah menyebar ke 178 negara. 785.709 orang dinyatakan positif mengidap penyakit ini di seluruh dunia. 37.686 orang telah meninggal dan 165.837 orang sembuh.

Di Indonesia, data terakhir menyatakan 1414 kasus positif corona. 122 orang meninggal dan 75 orang sembuh. DKI Jakarta menjadi wilayah paling terdampak virus bernama resmi Covid-19. 698 orang positif dengan 48 orang sembuh dan 74 orang meninggal.

Akan tetapi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam konferensi persnya kemarin (30/1) menyatakan sejak 6 hingga 29 Maret Pemprov DKI Jakarta telah menguburkan 283 orang terduga mengidap virus Corona. Indikasinya, kata Anies, mereka dimakamkan dengan tata cara pemakaman Corona: dengan menggunakan peti mati, tanpa dihadiri keluarga dan petugas pemakaman menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).

“Artinya kemungkinan mereka yang belum sempat dites Corona. Karena itu tidak bisa disebut sebagai positif. Atau sudah (dites) tapi sebelum ada hasilnya kemudian wafat,” kata Anies.

Karena banyaknya kasus di DKI Jakarta, Anies telah mengirim surat kepada Presiden Jokowi berizi permintaan izin melakukan lockdown atau karantina wilayah. Namun Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan Istana belum membahas surat tersebut. Rencananya pembahasan baru akan dilakukan hari ini. Sebaliknya, pemerintah pusat kemarin mengumumkan akan melakukan pembatasan sosial berskala besar dan darurat sipil.

Tren kasus Covid-19 di Indonesia selengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

(Baca: Turbulensi Bisnis Penerbangan di Pusaran Pandemi Corona

Upaya Mendeteski Penyebab Kematian Corona

Tingginya kematian akibat Corona di seluruh dunia membuat para peneliti mencari tahu penyebabnya. Terlebih tak seperti virus flu musiman yang banyak mengakibatkan kematian pada anak-anak, Corona menyebabkan kematian pada beragam usia dan dengan beragam jenis penyakit yang mengiringinya.

Data Chinese Center for Disease Control and Prevention pada 17 Februari menyatakan, 14% dari 45.000 pasien positif Corona di Tiongkok dalam kondisi parah, termasuk mereka yang menderita pneumonia serius dan sesak napas. 5% pasien lainnya terkonfimasi mengalami kegagalan sistem pernapasan, serangan bakteri dan kegagalan multiorgan yang berpotensi mengakibatkan kematian. Sementara 2,3% dinyatakan meninggal dunia.

Data tersebut juga menunjukkan gejalah parah akibat Covid-19 lebih banyak menimpa korban berusia tua dan telah mempunyai riwayat penyakit. Hanya kurang dari 1% orang sehat yang meninggal karena Corona. Sementara rasio fatal kepada seorang penderita penyakit kardiovaskular sebesar 10,5%. 14,8% pasien Corona dengan usia di atas 80 tahun terkonfirmasi meninggal. Sebaliknya, tak ada data meninggal pada anak-anak berusia di bawah 9 tahun.

Belum ada kesimpulan pasti terkait data di atas. Namun virologis Universitas Iowa, Stanley Perlman kepada The-Scientist.com menyatakan, berdasarkan kepada virus yang menyerang pernapasan lain terdapat teori bahwa Corona menjadi semakin buruk tergantung pada respons imun seseorang terhadapnya.

Pendapat Perlman senada dengan Randy Cron, professor pediatrik dan pengobatan University of Alabama in Birmingham. Menurutnya, seperti dilansir situs resmi universitas tempatnya mengajar, kematian pada pasien Corona termasuk disebabkan badai sitokin yang memengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia.

(Baca: Cegah Corona Masuk, Pemerintah Stop Kedatangan WNA dari Luar Negeri

Apa itu Badai Sitokin?

Menurut Cron, sitokin adalah protein inflamasi imun yang berfungsi untuk menangkal infeksi dan menjinakkan sel kanker dalam tubuh. Namun, ketika sitokin di luar kontrol bisa menyebabkan penyakit. Kondisi ini dikenal sebagai badai sitokin atau cytokine storm.

Dalam kondisi badai sitokin, kata Cron, protein imun meningkat tak terkendali dan menyerang organ-organ sehat di tubuh sendiri ketika merespon sebuah virus. Menyebabkan inflamasi atau peradangan di berbagai organ dan bisa mengakibatkan kegagalan organ sampai kematian. Meskipun begitu Cron menyatakan belum ada penyebab pasti imun menjadi tak terkendali pada sebagian orang. Kemungkinan karena mutasi genetik pada tubuh seseorang.  

Hubungan badai sitokin dan kematian di virus Corona, kata Cron, telah terbukti dari penelitian paling mutakhir di Tiongkok pada 3 Maret lalu. Penelitian ini dipublikasikan di Springer.com oleh beberapa peneliti dari Tiongkok: Qiurong Ruan, Kun Yang, Wenxia Wang, Lingyu Jiang, dan Jianxin Song. Mereka meneliti 150 pasien Corona di Tiongkok: 68 meninggal dan 82 sembuh.  

Hasil laboratorium menunjukkan perbedaan signifikan dalam jumlah sel darah putih, nilai absolut pada limfosit, platelet dan albumin, total bilirubin, urea nitrogen dalam darah, kreatinin darah, myoglobin, cardiac troponin, C-reactive protein (CRP) dan interleukin-6 (IL-6) dari pasien yang sembuh dan yang meninggal. Mereka pun menyimpulkan Covid-19 telah menyebabkan fulminant myocarditis yang mengaktifkan sitokin atau menyebabkan badai sitokin, sehingga mengakibatkan kerusakan multiorgan dan kematian.

Cron berpendapat lebih lanjut bahwa hasil penelitian itu telah memberi pola efek badai sitokin bagi penderita virus flu. Karena kondisi demikian terjadi pula dalam kasus flu musiman, flu Spanyol, SARS, dan MERS. Kebanyakan menyebabkan kematian.

Oleh karena itu, Cron menyarankan dilakukan pemeriksaan nilai serum ferritin kepada penderita Corona. Jika terlalu tinggi, maka diduga kuat mengalami kelainan protein imun atau sitokin dan berpeluang menderita badai sitokin. Sehingga perlu langsung diberi pengobatan untuk meredakan badai sitokin. Alat untuk mengukur ini menurutnya murah dan sudah banyak di seluruh dunia.

(Baca: Ditopang Saham Farmasi, IHSG Sesi 1 Ditutup Naik Terbatas 1,7%)

Pengobatan Badai Sitokin

Cron menyatakan, pengobatan badai sitokin bisa menggunakan obat penekan imun seperti kortikosteroid yang berdosis tinggi selayaknya digunakan pada penderita autoimun. Bisa juga dengan menggunakan pendekatan spesifik setelah terjadi peradangan sitokin, termasuk dengan interleukins IL-1 dan IL-6 dan interferon-gamma.

Sementara peneliti dari The Scrippss Research Institute (TSRI), seperti dilansir Sciencedaily.com pada 2014, telah mampu mengembangkan obat untuk menekan badai sitokin akibat virus flu. Obat ini diberi nama percobaan CYM5442.

TSRI mengklaim obat ini mampu merobohkan jalur pengindera infeksi untuk meredam sitokin penyebab inflamasi di paru-paru. Dari percobaan yang mereka lakukan, banyak sitokin yang bisa diredam. Tidak hanya memblokir satu jalur. Karena menurut mereka memblokir satu jalur saja tak cukup.

Obat ini, menurut TSRI pun lebih ringan daripada obat steroid yang bertindak tanpa pandang bulu terhadap semua sel limfoid. Juga lebih ringan dari obat imunosupresan lain berdosis tinggi yang bisa memblokir sistem imun dan justru membuat virus lebih mudah mereplikasi diri.

Obat hasil penelitian TSRI telah dilisensikan di perusahaan farmasi Receptors. Pengembangan fase kedua dan ketiga telah berfungsi mengobati multiple sclerosis.   

Kembali kepada Randy Cron, ia menyatakan upaya pencegahan kematian bisa dilakukan dengan mempertimbangkan penanganan badai sitokin dengan obat yang telah ada selama menunggu vaksin dan obat Corona.