Pembatasan Sosial Skala Besar dan Darurat Sipil, Ini Beda Dampaknya

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aww.
Polisi membubarkan warga yang berkumpul di pinggir jalan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (29/3/2020). Patroli malam itu dilakukan sebagai upaya mencegah penyebaran COVID-19.
Penulis: Pingit Aria
30/3/2020, 18.47 WIB
  1. peliburan sekolah dan tempat kerja;
  2. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
  3. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Sedangkan, kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

(Baca: Skala Pembatasan Sosial Diperbesar, Pengusaha Minta Kepastian Logistik)

Sedangkan, status darurat sipil diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Pasal 1 menyatakan, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang.

Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.

Dampak penetapan status darurat sipil cukup luas. Di antaranya, pada pasal 18 disebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak membuat ketentuan bahwa untuk mengadakan rapat-rapat umum, pertemuan-pertemuan umum dan arak-arakan harus dilakukan dengan izin tertentu. lzin ini oleh Penguasa Darurat Sipil diberikan penuh atau bersyarat.

Penguasa Darurat Sipil juga berhak membatasi atau melarang memasuki atau memakai gedung-gedung, tempat-tempat kediaman atau lapangan-lapangan untuk beberapa waktu yang tertentu.

Kemudian, pada pasal 19 disebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah.

Pasal 20: Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.

(Baca: Jokowi Akan Berlakukan Darurat Sipil untuk Perketat Pembatasan Sosial)

Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie menerangkan, keadaan darurat sipil merupakan keadaan yang tingkatan bahayanya dianggap paling rendah, dibanding darurat militer atau keadaan perang. Karena tingkatan bahayanya yang demikian itu, tidak diperlukan operasi penanggulangan yang dipimpin oleh suatu komando militer.

"Sekiranya pun anggota tentara atau pasukan militer diperlukan untuk mengatasi keadaan, kehadiran mereka hanya bersifat pembantu. Operasi penanggulangan keadaan tetap berada di bawah kendali dan tanggung jawab pejabat sipil," kata Jimly dalam buku Hukum Tata Negara Darurat terbitan 2008.

Halaman: