Harga Minyak Sentuh US$ 20 per Barel, Terendah Sejak November 2002

KATADATA
Ilustrasi, kilang minyak. Harga minyak pada Senin (30/3) kembali menyentuh level US$ 20 per barel karena permintaan turun imbas pandemi virus corona.
30/3/2020, 08.00 WIB

Harga minyak dunia pada perdagangan Senin (30/3) menyentuh level terendah dalam 17 tahun. Harga komoditas tersebut ditekan permintaan yang turun imbas pandemi virus corona.

Harga minyak sempat menyentuh level terendah di bawah US$ 20 per barel pada November 2002. Sedangkan sejak awal tahun, harga minyak telah turun 66% dari level harga di kisaran US$ 60 per barel.

Berdasarkan data Bloomberg pada hari ini pukul 07.13 WIB, harga minyak West Texas Intermediate turun 3,49% menjadi US$ 20,76 per barel. Sedangkan harga minyak Brent turun 4,69% menjadi US$ 23,76 per barel.

Pandemi virus corona membuat banyak negara mengkarantina wilayah sehingga menekan ekonomi global. Permintaan minyak pun terus berkurang hingga harga berada dalam tren turun.

Di sisi lain, Arab Saudi dan Rusia terus melanjutkan perang harga minyak. Kedua negara bersikukuh membanjiri pasar dengan produksi minyak.

Kerajaan Arab Saudi pada Jumat (27/3) menyatakan tidak ada pembicaraan dengan Rusia terkait pemangkasan produksi minyak di antara negara-negara anggota OPEC+.

Rusia pun tak mau kalah. Deputi Menteri Energi Rusia Pavel Sorokin menyatakan harga minyak di kisara US$ 25 per barel sebenarnya tidak menyenangkan, namun bukan sebuah kehancuran bagi Rusia.

"Permintaan merupakan sesuatu yang serius, tapi sudah diketahui. Hal yang sebenarnya membuat pasar tertekan yaitu signal dari Arab Saudi dan Rusia yang meneruskan perang harga," kata Commodities Analyst di Commonwealth Bank of Australia Vivek Dhar seperti dikutip dari Bloomberg pada Senin (30/3).

(Baca: Khawatir Harga Minyak US$ 10, AS Desak Arab Saudi dan Rusia Rujuk)

Konsumsi minyak secara global biasanya mencapai 100 juta barel per hari. Namun, pandemi virus corona yang membuat 3 juta orang berada dalam karantina wilayah membuat permintaan turun 50%.

International Energy Agency Fatih Birol telah meminta produsen utama dunia seperti Arab Saudi menstabilkan arga. Namun, permintaan itu tak cukup untuk mengembalikan keseimbangan pasar.

"Kami ragu terhadap Arab Saudi yang akan membiarkan pihaknya dibujuk dengan mudah untuk kembali dari jalur balas dendam (perang harga) yang baru-baru ini dimulai," kata Commerzbank Analys Eugen Weinberg dikutip dari Reuters.

Arab Saudi sebagai pemimpin negara-negara OPEC telah menolak pemangkasan produksi minyak pada tahun ini. Padahal Arab Saudi kesulitan juga mencari pembeli untuk produksi minyak esktranya seiring penurunan permintaan secara global.

Kepala Dana Kekayaan Rusia Kirill Dmitriev menyatakan kepada Reuters bahwa negara OPEC dan sekutunya bisa saja mencapai kesepakatan pemangkasan pasokan jika negara-negara lain ikut bergabung.

Namun, analis meragukan pemangkasan produksi bisa mendorong harga minyak. "Sepertinya tidak ada yang bisa dilakukan Arab Saudi atau kelompok OPEC+ untuk mendorong harga ke arah yang lebih tinggi. Hancurnya permintaan tidak berarti pemangkasan produksi yang dibutuhkan," kata ING Analys Warren Patterson.

(Baca: Harga Minyak Diramal Anjlok ke US$ 10, Terendah Sejak Krisis Moneter)