Ibunda Presiden Joko Widodo, Sudjiatmi Notomihardjo, meninggal dunia di Rumah Sakit Slamet Riyadi di Kota Solo, Rabu (25/3), pukul 16.45. Jokowi menyampaikan, bahwa almarhumah ibundanya telah menderita kanker selama empat tahun terakhir.
Sudjiatmi, yang lahir pada 15 Februari 1943, merupakan putri dari pasangan Wirorejo dan Sani. Ayahnya merupakan pedagang kayu dari Kelurahan Giriroto, Ngemplak, Boyolali.
Waktu kecil, Sudjiatmi adalah satu-satunya siswa perempuan saat menjalani pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Kismoyo. Sang ayah memilih untuk menyekolahkan Sudjiatmi, sama dengan saudara-saudara lelakinya. Padahal, kala itu, anak perempuan pada umumnya tidak diberikan kesempatan untuk bersekolah oleh keluarganya.
Sudjiatmi kemudian menikah dengan teman masa kecilnya, Widjiatno Notomihardjo, pada 23 Agustus 1959. Saat itu, Sudjiatmi berusia 16 tahun sedangkan suaminya berusia 19 tahun.
Dalam buku ‘Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi’ (2014) yang ditulis Kristin Samah dan Fransisca Ria Susanti, dikatakan bahwa setelah menikah Sudjiatmi menuruti keinginan Widijanto untuk meneruskan jejak kedua orang tuanya menjadi pedagang.
(Video: Selamat Jalan Ibu Sudjiatmi, Ibunda Presiden Jokowi)
Pasangan muda itu pun memulai usaha kerajinan kayu dan bambu. Karena usaha suaminya tak selalu mulus, Sudjiatmi juga mengisi waktu dengan mengajar di sebuah kursus rias.
Dari pernikahannya dengan Widjiatno Notomihardjo, Sudjiatmi memiliki empat orang anak, yakni Iit Sriyantini, Titik Relawati, Ida Yati, dan Jokowi sendiri. Adik Jokowi yang lain, yakni Joko Lukito, meninggal dunia saat dilahirkan.
Sudjiatmi juga adalah sosok di balik pembawaan Jokowi yang kalem, sopan santun, dan sederhana. “Dari kecil, anak-anak saya didik yang bukan hakmu jangan kamu ambil. Jangan senang punya orang lain,” katanya, dikutip dari laman Sahabat Keluarga, portal pendidikan keluarga milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sudjiatmi juga tidak pernah absen menasihati Jokowi saat putranya mulai berpolitik. Seperti diketahui, setelah menjadi Wali Kota Solo, Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, sampai Presiden Republik Indonesia.
“Sepuluh tahun kok naik pangkat tiga kali. Kamu harus bersyukur jangan menggak-menggok, lurus saja. Jangan aneh-aneh diberi amanah sama rakyat, sama Allah. Dijalankan dengan baik,” demikian nasihatnya.
(Baca: Ibunda Jokowi Wafat setelah Empat Tahun Berjuang Melawan Kanker)
Menjelang penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Sudjiatmi juga menjadi korban dari tuduhan negatif yang mengatakan bahwa keluarga Jokowi memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dilansir dari Historia.id, isu tersebut bermuara dari tulisan yang diterbitkan majalah Obor Rakyat pada Mei 2014 lalu.
Di dalam tulisan tersebut, dijelaskan Sudjiatmi merupakan Sekjen Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sedangkan suaminya adalah Ketua Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR). Kedua kelompok ini disebut sebagai perpanjangan tangan dari PKI.
Isu tersebut kemudian dibantah oleh dua akademikus yakni Wawan Mas'udi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Akhmad Ramdhon dari Universitas Negeri Sebelas Maret, melalui buku yang mereka tulis berjudul ‘Jokowi dari Bantaran Kalianyar ke Istana’.
Dilansir dari Tempo.co, buku tersebut berisikan hasil penelusuran kedua pengajar Ilmu Sosial dan Politik tersebut tentang sejarah asal-usul keluarga Jokowi sejak dua generasi sebelumnya, dari kakek dan nenek hingga ayah dan ibu Jokowi.
“Jika informasi (Jokowi keturunan PKI) itu benar, tidak mungkin dia bisa mencalonkan diri sebagai wali kota pada 2005,” kata salah satu penulis, Wawan, ketika buku tersebut pertama kali dibedah pada 19 Desember 2018 lalu di tempat Kelahiran Jokowi, Solo.
(Baca: Ibunda Wafat, Jokowi Instruksikan Menteri Tetap Fokus Kerja di Jakarta)
Buku tersebut juga sekaligus membantah isu lain yang mengatakan bahwa Jokowi bukan berasal dari keluara muslim. Seperti yang diketahui, Majalah Obor pernah menulis pula bahwa Jokowi memiliki hubungan keluarga dengan simpatisan PKI non-muslim bernama Oey Hong Leong. Jokowi juga disebut memiliki nama Babtis, Hubertus Handoko.
Wawan mengatakan bahwa desa Giriroto, tempat Sudjiatmi menghabiskan masa kecil, adalah perkampungan yang religius. Tempat tinggal keluarga Sudjiatmi pun sering digunakan oleh warga desa untuk menggelar pengajian.
Dalam buku yang sama, diketahui pula Sudjiatmi dan suaminya pernah tinggal di bantaran sungai, tepatnya di Kali Pepe dan Kalianyar. Mereka sampai pindah dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain karena beberapa kali menjadi korban penggusuran.
Reporter: Nobertus Mario Baskoro