Mayoritas dari 600 WNI Bekas ISIS adalah Perempuan dan Anak-anak

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Ilustrasi, Pasukan Team Taifib Marinir melakukan penyergapan markas teroris saat melakukan Latihan Operasi Dukungan Integrasi Pasukan Khusus Laut Tahun 2019 di di Dermaga JICT II Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
7/2/2020, 14.38 WIB

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan, mayoritas dari sekitar 600 Warga Negara Indonesia atau WNI terduga teroris lintas batas yang diidentifikasi pemerintah merupakan perempuan dan anak-anak. Informasi tersebut didapat dari komunitas intelijen internasional.

Kepala BNPT Suhardi Alius menilai, rencana pemulangan para WNI bekas ISIS itu dilematis. Di satu sisi, ada anak-anak di antara mereka. Tetapi, ada kekhawatiran para terduga teroris akan menyebarkan paham radikalisme jika dipulangkan ke Tanah Air.

Anak-anak yang berada di kelompok teroris itu menjadi korban, jika mengacu pada hukum humanitarian internasional. Mereka juga dilindungi Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Atas dasar itu, Deputi Bidang Kerja Sama Internasional BNPT Andhika Chrisnayudhanto menilai negara wajib memberikan perlindungan kepada mereka. "Kalau anak direkrut di daerah konflik, secara hukum internasional disebut sebagai korban," kata Andhika di kantornya, Jakarta, Jumat (7/2).

(Baca: BNPT Masih Identifikasi 600 WNI Terduga Teroris Lintas Batas)

Namun, proses deradikalisasi terhadap para WNI terduga teroris itu bukanlah hal yang mudah. Sebab, mereka memiliki pengalaman dan pemikiran sebagai teroris lintas batas yang cukup lama.

Halaman:
Reporter: Dimas Jarot Bayu