Orang Dekat Presiden Disebut Berpeluang Besar Duduki Kursi Golkar 1

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto (kanan) menekan layar saat membuka peringatan HUT ke-55 Partai Golkar di Jakarta, Rabu (6/11/2019).
20/11/2019, 06.22 WIB

Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda menilai kedekatan dengan penguasa bakal menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihan ketua umum Golkar. Hal ini sudah terbukti dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar sebelumnya.

"Kalau dia dekatnya 10 sentimeter, pasti dia kalah dengan yang kedekatannya dengan Presiden hanya 1 sentimeter. Jadi semakin dekat calon ketua umum Golkar (dengan penguasa), semakin berpeluang," kata Hanta di Jenggala Center, Jakarta, Selasa (19/11).

Dia mencontohkan, Akbar Tandjung yang lebih dekat dengan Presiden ketiga Habibie mampu mengalahkan Edi Sudrajat pada Munas Golkar 1998. Jusuf Kalla bisa menjadi ketua umum Golkar saat dirinya menjadi Wakil Presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004. 

(Baca: Airlangga Disebut Bakal Kembali Pimpin Golkar Bila Ada Aklamasi)

Pada 2009, Aburizal Bakrie yang merupakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di Kabinet Indonesia Bersatu bisa menjadi ketua umum Golkar mengalahkan Surya Paloh. "Munas 2016 juga begitu Pak Setya Novanto. Apalagi sekarang yang menjadi calon ketua umum Golkar (Airlangga Hartanto) adalah menteri," ucap Hanta.

Tokoh senior Golkar Fahmi Idris juga menyatakan hal senada. "Jadi yang dikatakan itu benar. Pada umumnya, siapa saja yang dekat dengan penguasa (lebih berpeluang menang), bukan hanya di Golkar, tapi di partai manapun," kata dia.

Faktor penentu lainnya, menurut dia, adalah faktor personal dan finansial. Tanpa ada modal yang besar, sulit bagi calon Ketua Umum Golkar untuk bisa menang. "Menjelang Munas itu yang dihitung bukannya pandangan calon ketua umum, tapi malah dananya. Ini memang kurang sehat," ujarnya.

Halaman: