Kabar duka kepergian musisi Djaduk Ferianto dikabarkan oleh sang kakak, Butet Kertaredjasa. Melalui akun Instagramnya, @masbutet mengunggah gambar berlatar hitam dengan tulisan “Sumangga Gusti”. Dalam keterangannya, Butet menulis, "RIP Djaduk Ferianto."
Djaduk meninggal dunia, Rabu (13/11/2019) pukul 02.30 WIB dalam usia 55 tahun. jenazahnya akan dimakamkan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Yogyakarta, sekitar pukul 15.00 WIB sore ini.
Kabar duka meninggalnya Djaduk Ferianto ini mengejutkan banyak pihak. Sebab, ia dijadwalkan tampil di Ngayogjazz pada Sabtu (16/11/2019) mendatang di Godean, Yogyakarta. Ngayogjazz
adalah festival musik jazz yang digaggas Djaduk bersama beberapa musisi di Kota Pelajar.
Djaduk lahir di Yogyakarta pada 19 Juli 1964 silam. Ia adalah putra bungsu dari pasangan maestro tari yang juga pelukis senior Bagong Kussudiarja dan istrinya, Soetiana.
(Baca: Kenang Habibie, SBY: Kita Kehilangan Bapak Reformasi dan Demokrasi)
Tumbuh di lingkungan yang gemar berkesenian, bakat Djaduk pun terasah sejak kecil. Djaduk merupakan jebolan Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta. Selain aktor, Djaduk juga pernah mengisi ilustrasi musik berbagai sinetron dan film layar lebar.
Tahun 1972, Djaduk mulai bermusik dengan instrumen tradisonal kendang. Ia juga mendirikan kelompok musik anak-anak Rheze, dan di sekolah Taman Madya Tamansiswa, ia mendirikan grup musik Wathathitha. Grup Rheze tahun 1978 keluar sebagai Juara I Lomba Musik Humor Tingkat Nasional.
Selain itu, Djaduk juga pernah mementaskan repertoar Unen-Unen di Yogya tahun 1983 dan, pada tahun 1985 bergabung dalam Teater Gandrik.
Pada tahun 1995, Djaduk bersama dengan kakaknya, Butet Kertaredjasa dan Purwanto, mendirikan Kelompok Kesenian Kua Etnika. Grup ini mengeksplorasi musik etnik dengan pendekatan modern. Pada tahun 1997, Djaduk mengolah musik keroncong dengan mendirikan Orkes Sinten Remen.
Diberitakan Harian Kompas (22/2/1995), bapak lima anak ini tak cuma kuat dalam penggarapan musik kreatif berbasis instrumen perkusi. Berkali-kali Djaduk juga berhasil tampil sebagai penghibur yang kreatif lewat karya pantomim dan gerak tari, seperti sang ayah. Berbagai pentas musik di dalam di luar negeri kemudian dilakoninya.
(Baca: Bacakan Pidato Kontemplasi, SBY Kenang 43 Tahun Bersama Ani Yudhoyono)
Salah satu hal yang pernah mengganjal Djaduk adalah label lokal dan nasional. Dikutip dari Wikipedia, ia mengalami diskriminasi itu sejak 1979.
Djaduk baru bisa masuk industri (nasional) pada tahun 1996, setelah muncul di acara Dua Warna, RCTI. Maka ketika Djaduk banyak menerima job tingkat nasional, termasuk saat berperan dalam film Petualangan Sherina, ia tetap bertahan sebagai orang lokal.
Ia menolak berdomisili Jakarta, meski frekuensi tampil di ibu kota sedang tinggi. Djaduk dan kelompoknya tetap berada di Yogyakarta.
“Sumangga Gusti” yang dituliskan Butet berarti “Silakan, Tuhan”. Dalam unggahannya, Butet seolah mengungkapkan bahwa dirinya telah mengikhlaskan kepergian sang adik, Djaduk Ferianto.