Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memulai proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (9/9). Sepuluh capim yang terpilih diminta membuat makalah sesuai tema yang ditentukan oleh DPR.
Salah satu capim KPK yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan tersebut adalah Nurul Ghufron. Pria kelahiran Sumenep, 22 September 1974 ini adalah capim KPK yang termuda. Saat ini ia menjadi dekan di Fakultas Hukum Universitas Jember. Ia juga dicalonkan dalam pemilihan rektor Universitas Jember periode 2020-2024. Namun, ia menantikan hasil seleksi Capim KPK terlebih dahulu sebelum memutuskan mengikuti pemilihan rektor.
Sebagai akademisi, Ghufron juga cukup aktif menulis artikel tentang hukum juga korupsi di surat kabar. Beberapa tulisannya juga disusun dalam bentuk jurnal ilmiah. Dengan pengetahuan hukumnya, Ghufron kerap diundang sebagai saksi ahli dalam persidangan korupsi.
(Baca: Johanis Tanak, Capim KPK yang Pernah Diintervensi Jaksa Agung)
Sempat Dicecar soal LHKPN
Dalam uji publik yang dilakukan Panitia Seleksi Capim KPK, Ghufron sempat dicecar soal kelalaiannya menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2019. Anggota Pansel Diani Sadia Wati menanyakan mengapa Ghufron belum menyampaikan LHKPN.
Ghufron mengatakan, ia sudah menyampaikan LHKPN sebelum 31 Maret 2019. Namun, masih ada kekurangan surat kuasa untuk memeriksa rekening anak pertamanya yang mulai dewasa. "Itu yang saya belum teliti. Hanya kekurangan surat kuasa hukum rekening anak saya, akan tetapi sudah disampaikan sekitar awal Agustus," ujar Ghufron seperti dikutip Antara, Rabu (28/8).
Ia mengaku telah menyerahkan data LHKPN sejak 2016. "Tapi yang 2018 belum?" kata Diani. Ghufron menjawab bahwa ia telah melaporkan LHKPN 2018 pada Maret 2019.
Anggota Pansel Capim KPK juga mempertanyakan soal kepatuhan Ghufron dalam membayar pajak. Dalam catatan Pansel, pembayaran pajak penghasilan (PPh) Ghufron terakhir kali adalah untuk tahun 2015.
(Baca: Suramnya Masa Depan Indonesia jika Revisi UU KPK Disahkan)
Wewenang untuk Mengeluarkan SP3 Dinilai Wajar
Dalam uji kelayakan dan kepatutan yang berlangsung di Gedung DPR, Nurul Ghufron diminta membuat makalah mengenai kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Ia diberi waktu 90 menit untuk menuliskan makalah tersebut.
"Menurut saya, penghentian penyidikan adalah hal yang alami sesuai dengan landasan hukum negara kita yang berlandaskan Pancasila," kata Ghufron seperti dilansir Tirto.id, di Jakarta, Senin (9/9).
Ia menilai, proses penegakan hukum pun bisa salah sehingga wajar jika SP3 diterapkan dalam kewenangan KPK. Mekanisme SP3 dapat memperbaiki hal-hal yang keliru dalam kinerja KPK.
Kewenangan untuk mengeluarkan SP3 dituangkan dalam draf revisi Undang-Undang KPK. Dalam draf disebutkan, KPK harus mengeluarkan SP3 untuk perkara korupsi yang tidak selesai dalam waktu satu tahun.
Draf revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR. Banyak kalangan menolak revisi UU KPK, termasuk para karyawan dan komisioner KPK saat ini. Pasalnya, poin-poin revisi UU KPK dinilai menjadi salah satu cara untuk melemahkan KPK.
(Baca: Ribuan Akademisi dari 27 Universitas Tolak RUU KPK)
Penyumbang bahan: Abdul Azis Said (Magang)