Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy K Lengkey menyatakan pemerintah perlu membenahi tata niaga nikel di dalam negeri sebelum mempercepat larangan ekspor bijih nikel (ore). Sebab, penjualan di dalam negeri memiliki sejumlah masalah, seperti permainan kadar nikel.
Masalah tersebut membuat pengusaha memilih ekspor ore dibandingkan menjualnya di dalam negeri. "Ada permainan kadar, bayarnya suka-suka," kata Meidy di kantornya, Jakarta, Kamis (22/8).
Jumlah kadar nikel biasanya dihitung oleh surveyor pengapalan mineral dan batu bara yang telah ditunjuk oleh pemerintah sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 05 Tahun 2016. Surveyor yang ditunjuk ialah Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindya. Surveyor tersebut juga menentukan dasar pembayaran pajak atau royalti.
Surveyor tersebut nantinya menghitung kadar nikel di pelabuhan muat (Freight on Board/FOB). Namun Saat bijih nikel dikirimkan ke smelter, surveyor Intertek mengubah penghitungan kadar tersebut di pelabuhan bongkar. Padahal, surveyor tersebut tidak terdaftar pada Kepurusan Menteri ESDM.
"Di pelabuhan muat, kadarnya 1,8%. Tapi di pelabuhan bongkar kadarnya diubah jadi 1,3%," kata dia.
(Baca: Rugi Puluhan Triliun, Pengusaha Protes Larangan Ekspor Nikel)
Selain itu, penjualan ore domestik kerap meminta kadar tinggi di atas 1,8% dengan harga yang murah. Sementara, ekspor ore memiliki ketentuan kadar rendah, yaitu 1,7% yang dijual dengan harga lebih tinggi.
Meidy mengatakan, ekspor 1 ton nikel kadar 1,7% dapat dihargai US$ 35. Sementara, penjualan 1 ton nikel kadar 1,7% di domestik dibiayai Rp 300 ribu atau setara US$ 24.
Pengusaha telah menyampaikan permasalahan tata niaga perdagangan nikel ore kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 5 Agustus 2019. Hal ini disampaikan bersamaan dengan pernyataan keberatan atas percepatan larangan ekspor ore. Bila dipercepat, penjualan ore di domestik dinilai tidak menguntungkan.
Selain tata niaga perdagangan nikel ore, pengusaha jugak mengeluhkan nilai tambah smelter, serta ketahanan dan ketersediaan bahan baku biji nikel ke depan. "Tanggapan presiden ialah meminta instansi terkait untuk menggali data," katanya.
Selain Jokowi, pernyataan keberatan juga telah disampaikan pengusaha ke sejumlah pihak seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementerian ESDM. Kemudian, pemerintah daerah di lokasi tambang nikel, Komisi VII DPR, dan Polri.
(Baca: Jokowi Tegaskan Pentingnya Hilirisasi Industri untuk Mengurangi Impor)