Sebanyak 21 provinsi telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Belasan provinsi lain termasuk Provinsi DKI Jakarta masih melakukan pembahasan penyusunan perda tersebut sebagai mandat dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai melalui perda RZWP3K, seharusnya Pemprov DKI melakukan reorientasi terhadap penguasaan serta pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, fakta-fakta di lapangan menunjukkan RZWP3K justru melanggengkan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu.
"Kami melihat peraturan daerah RZWP3K ini hanya sebatas pintu masuk melegalkan reklamasi teluk Jakarta," ujarnya di Jakarta, Jumat (28/6).
(Baca: Berikan IMB di Pulau Reklamasi, Anies Salahkan Pergub 2016 Buatan Ahok)
Menurut Susan, hal tersebut dikarenakan perda RZWP3K akan melegitimasi kepemilikan pulau-pulau yang terbukti meminggirkan kehidupan nelayan. Di dalam rancangan RZWP3K, kawasan untuk permukiman nelayan di Kepulauan Seribu tidak diberikan ruang.
Selain itu, kawasan perikanan tangkap nelayan hanya dialokasikan di beberapa titik. Area tersebut yakni perairan Kepulauan Seribu Utara, perairan Kepulauan Seribu barat, sebelah barat Pulau Pari dan Pulau Putri bagian timur.
Reklamasi sendiri, kembali dinilai Susan sudah terstruktur polanya. "Dari awal juga sudah terlihat ini seperti tongkat estafet saja, entah dimulai dari pemerintahan dari Fauzi Bowo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), hingga Anies Baswedan saat ini," ujarnya.
Dia juga mengomentari Anies Baswedan yang awalnya menolak reklamasi, kemudian melanjutkan kembali dengan merubah Peraturan Gubernur (Pergub) yang sudah dikeluarkan Ahok. Ini berarti seluruh pimpinan Pemprov Jakarta sudah terlibat melanjutkan reklamasi yang sudah diketahui tidak baik.
(Baca: Anies Belum Pikirkan Kontribusi Tambahan Pengembang di Pulau Reklamasi)
Maka dari itu rancangan RZPWP3K dianggap tidak sejalan dengan tiga perangkat hukum yang sudah mengatur pesisir. "Penyusunan RZWP3K harus dievaluasi total karena bertentangan dengan sejumlah perangkat hukum yang sangat spesifik mengatur persoalan pesisir," ucap dia.
Adapun ketiga undang-undang tersebut yang pertama yakni, UU 27 tahun 2007 dan revisinya UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) no. 3 tahun 2010 dan ketiga, UU no. 7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam.
Namun peraturan daerah RZWP3K yang seharusnya merupakan mandat dari Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dianggap belum berpihak pada nelayan dan masyarakat pesisir. "Sebagai contoh, dalam peraturan RZWP3K tidak ada zona pemukiman nelayan," katanya.
Sedangkan di Pulau Pari saja, terdapat 3.000 nelayan. Jika yang diatur hanya pariwisata saja, tentunya kehidupan nelayan tidak akan sejahtera jika tidak ditetapkan zona pemukimannya.
(Baca: Nelayan & Walhi Nilai Reklamasi Jakarta Fasilitasi Kepentingan Bisnis)