Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menggunakan pengadilan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia) untuk menyidang pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, beserta istrinya, Itjih Nursalim.
KPK bakal melakukan hal tersebut jika Sjamsul dan Itjih tak juga memenuhi panggilan KPK dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Jika tidak kooperatif, kami berniat kasus ini disidangkan secara in absentia," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarief di kantornya, Jakarta, Senin (10/6).
Laode mengatakan, KPK selama ini telah berupaya memanggil Sjamsul dan Itjih sebagai saksi secara patut sejak penyelidikan lanjutan dimulai pada Agustus 2018. Hal tersebut dilakukan dengan mengirimkan surat panggilan ke alamat keduanya yang tercatat secara formil maupun lainnya di Indonesia dan Singapura.
Waktu yang diberikan KPK untuk Sjamsul dan Itjih memberikan keterangan tersebut, antara lain pada 8,9, dan 22 Oktober 2018 serta 28 Desember 2018. Hanya saja, mereka selalu absen. "Kami sudah memberikan panggilan yang wajar berkali-kali secara formal dan informal, bukan hanya ke kediaman di Indonesia, tapi juga kantor perusahaan yang dianggap berafiliasi dengan kedua tersangka," kata Laode.
(Baca: Dibantu Aparat Singapura, KPK Panggil Lagi Sjamsul Nursalim dan Istri)
Menurut Laode, pengadilan in absentia akan merugikan Sjamsul dan Itjih. Sebab, keduanya tak akan bisa memberikan keterangan untuk membela diri secara langsung ketika di pengadilan.
Atas dasar itu, Laode meminta agar Sjamsul dan Itjih bersikap kooperatif dengan KPK. "Sebaiknya kepada yang bersangkutan bisa membela hak-haknya di pengadilan
KPK saat ini terus menjalin koordinasi dengan komisi antikorupsi Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB) untuk penanganan kasus BLBI yang menjerat Sjamsul dan Itjih. Lebih lanjut, KPK telah mengirimkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan terhadap Sjamsul dan Itjih ke empat lokasi berbeda.
Ketiga lokasi tersebut antara lain berada di Singapura, yakni The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Fiti Tire Pte.Ltd. Sementara satu informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan dikirimkan ke lokasi di Indonesia, yakni kediaman Sjamsul di Simprug, Kebayoran Lama, Jakarta.
(Baca: Sjamsul Nursalim Enggan Jadi Saksi BLBI karena Tak Dilindungi Hukum)
KPK hari ini menetapkan Sjamsul beserta Itjih sebagai tersangka kasus dugaan korupsi BLBI. Keduanya diduga sebagai pihak yang diperkaya senilai Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi BLBI.
"SJN (Sjamsul Nursalim) dan ITN (Itjih Nursalim) disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Saut mengatakan, penetapan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka merupakan pengembangan penyidikan perkara eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin Arsyad Temenggung. Sebelumnya, Sjafruddin telah divonis hukuman penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam putusan banding.
Saut mengatakan, dalam pertimbangan putusan sejak tingkat pertama hingga banding, majelis hakim telah menyatakan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut sebesar Rp 4,58. Angka tersebut merupakan selisih antara kewajiban yang belum diselesaikan sebesar Rp 4,8 triliun dengan hasil penjualan piutan oleh PT Perusahaan Pengelolaan Aset (PT PPA) tahun 2007 senilai Rp 220 miliar.
"Sedangkan terkait dengan pihak yang diperkaya, pada pertimbangan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Nomor 39/Pid.Sus/Tpk/2018/PN.Jkt.Pst disebutkan secara tegas bawa tindakan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun," kata Saut.
(Baca: Syafruddin Temenggung Divonis Penjara 13 Tahun dalam Korupsi BLBI)