Pasar industri film di Indonesia cukup menjanjikan. Hal ini seiring dengan pertumbuhannya yang mencengangkan, baik dari sisi jumlah penonton, layar lebar, serta banyaknya film-film Indonesia yang ditonton oleh jutaan pemirsa.
Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik menyatakan pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia sangat pesat. “Mencapai 230 persen dalam lima tahun terakhir,” kata Ricky dalam diskusi mengenai industri kreatif Indonesia dalam rangkaian acara London Book Fair 2019 pada 12-14 Maret 2019.
(Baca: Berkat Film AADC, CJ Entertainment Percayakan Sunny ke Mira Lesmana)
Selain itu, jumlah layar di studio juga tumbuh cepat dari 800 layar lebar (screen) menjadi 1.800 layar dalam tempo tiga tahun terakhir. Bahkan, Indonesia dikenal sebagai pasar untuk film-film box office terbesar ke-16 di dunia dengan nilai pasar US$ 345 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun. Namun, jumlah layar tersebut masih sangat kurang, karena yang ideal untuk Indonesia dengan populasi 260 juta jiwa seharusnya 10 ribu screen.
Yang tak kalah penting adalah semakin banyaknya film-film yang masuk box office Indonesia, ditonton oleh jutaan pemirsa. Belakangan ini tidak lagi terlalu sulit bagi film-film Indonesia mencapai target standar jumlah penonton sebanyak empat juta pemirsa. “Indonesia merupakan pasar yang besar bagi industri film,” kata dia.
Karena itu, tidak mengherankan jika semakin banyak investor dan perusahaan film mancanegara melirik pasar negara. Contohnya, produser Fox Internasional Productions dari 20th Century Fox Film Corporation terlibat dalam produksi film Wiro Sableng. Sony Pictures Entertainment sedang memproduksi film di Indonesia. Perusahaan film terbesar asal Korea Selatan, Lotte, juga sedang proses ekspansi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(Baca: Mira Lesmana Garap Film Bebas, Adaptasi Box Office Korea Sunny)
Menurut Ricky, selain faktor populasi Indonesia yang terbesar di Asia Tenggara, pertumbuhan pesat di industri film juga didorong oleh kebijakan pemerintah yang memberikan kebebasan investor asing untuk membiayai sepenuhnya produksi film di Indonesia. “Apalagi, film-film produksi Indonesia juga semakin banyak yang kualitasnya tidak kalah dengan film asing, seperti film Gatotkaca.”
Film Gatotkaca rencananya akan dirilis tahun depan. Namun, trailer film ini sudah dipamerkan dalam rangkaian kegiatan di London Book Fair 2019. Mochtar Sarman, seorang ahli lisensi dan Direktur Merchandise Asian Games 2018 adalah sosok di belakang pembuatan film Gatotkaca yang ternyata sangat populer di kalangan anak muda Indonesia.
Menurut Mochtar, Gatotkaca tidak hanya akan dibuat dalam bentuk film, juga menjadi bagian dari kolaborasi berbagai ekosistem industri kreatif di Indonesia, mulai dari film, komik, games, theme park, dan lainnya. Artinya, film ini mendorong rantai bisnis untuk produk-produk kreatif lainnya.
Melihat perkembangan beberapa tahun terakhir, dia meyakini pasar dan pengembangan industri film Indonesia masih sangat potensial. Selain jumlah pengunjung naik, film-film Indonesia mampu menembus pasar internasional dan bisnisnya mendatangkan keuntungan, serta kualitas yang semakin bagus.
(Baca: Rekor Box Office, Dilan 1991 Raup 720 Ribu Penonton di Hari Perdana)
Namun, dia mengingatkan industri film Indonesia memiliki keterbatasan dari segi sumber daya manusia. Pasokan artis dan aktor pemain film masih terbatas sehingga pemain yang muncul tetap orang-orang yang sama. “Ini seharusnya menjadi peluang bagi dunia pendidikan untuk memperbanyak sekolah-sekolah film.”
Selain itu, upaya untuk mendukung perkembangan lebih pesat film nasional, Mochtar menyarankan agar pemerintah Indonesia belajar dari China. Negeri Tembok Raksasa itu menerapkan kebijakan pembatasan untuk penayangan film-film asing sehingga produksi film lokal China bisa tumbuh lebih pesat. “Kalau di Indonesia, film lokal masih berebut screen dengan film asing.”
Indonesia juga sangat menarik sebagai lokasi untuk pembuatan film. Hal ini mengingat Tanah Air memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang unik dan beragam, 127 gunung berapi, ratusan candi peninggalan bersejarah, bangunan tua peninggalan sejarah kolonial, serta sawah dan kota-kota yang ramai.