Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International (TI) untuk tahun 2018 menunjukkan Indonesia naik tujuh peringkat ke posisi 89 dari 180 negara. Faktor yang mendorong perbaikan peringkat IPK Indonesia adalah proses berusaha, perizinan, dan investasi yang semakin mudah di Indonesia.
Manager Riset Transparency International Indonesia Wawan Sujatmiko mengatakan, skor IPK Indonesia pada 2018 naik satu poin menjadi 38 dari skala 0-100 setelah stagnan di skor 37 sejak 2016. Peringkat Indonesia pun naik ke posisi 89 dari 180 negara dibandingkan 2017 yang berada di peringkat 96 dari 180 negara.
"Posisi Indonesia naik tujuh peringkat dari tahun 2017," kata Wawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (29/1). Meski demikian, skor Indonesia ini masih di bawah rata-rata skor negara-negara di dunia sebesar 43. TI mencatat ada lebih dari 60% atau 120 dari 180 negara yang skor IPK-nya di bawah 50.
Menurut Wawan, posisi Indonesia ini sama dengan Bosnia dan Herzegovina, Sri Lanka, dan Swaziland. Di Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan keempat menyusul Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Skor IPK Singapura naik satu poin menjadi 85. Skor Brunei juga naik satu poin menjadi 63. Adapun, skor IPK Malaysia stagnan di angka 47. Di bawah peringkat Indonesia, ada Filipina, Thailand, dan Timor Leste. Skor Filipina naik dua poin dari 34 menjadi 36. Skor Thailand turun satu poin dari 37 ke 36. Skor Timor Leste turun tiga poin dari 38 ke 35.
Wawan mengatakan, faktor yang mendorong peningkatan skor Indonesia secara signifikan berasal dari data Global Insight Country Risk Ratings yang naik 12 poin dari 35 ke 47. Menurut Wawan, peningkatan itu disebabkan proses berusaha, perizinan, dan investasi semakin mudah di Indonesia.
Sementara itu, faktor yang stagnan adalah Political Risk Service dengan nilai 50. Hal ini lantaran masih adanya potensi risiko korupsi dalam sistem politik yang belum berubah. Selain itu, ada indikasi relasi yang mencurigakan antara politisi dan pebisnis.
Adapun faktor yang nilainya menghambat IPK Indonesia, yakni IMD World Competitiveness Yearbook. Nilainya turun tiga poin dari 41 ke 38. Faktor ini menjelaskan bahwa suap dan korupsi masih hadir dalam sistem politik Indonesia.
(Baca: ICW: Program Pemberantasan Korupsi Jokowi dan Prabowo Tak Membuat Jera)
Kemudahan Berbisnis
Sebelumnya, laporan Bank Dunia menunjukkan peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EoDB) 2019 turun satu peringkat ke posisi 73 dari 190 negara karena tiga indikator yang mendapat skor rendah. Ketiga indikator tersebut adalah penegakan kontrak, pendaftaran properti, dan izin konstruksi.
Meski demikian, Indonesia juga mencatat beberapa kemajuan dalam iklim berusaha bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Hal itu terlihat dari skor starting business (memulai usaha baru) yang mencapai 81,22.
“Indonesia terus meningkatkan iklim usaha dan kini berupaya mengurangi kesenjangan terhadap praktik global terkait regulasi usaha kecil dan menengah," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A. Chaves, di kantornya, Jakarta, Kamis (1/11).
Bank Dunia menilai, Indonesia mencatat kemajuan dengan menggabungkan pendaftaran yang berbeda dengan menggunakan nomor jaminan sosial dan mengurangi biaya notaris di Jakarta maupun Surabaya. Beberapa proses pendaftaran perizinan berbeda juga sudah digabung di pelayanan perizinan terpadu di Surabaya.
Hasilnya, Indonesia berhasil memangkas waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha dari 23 hari menjadi 20 hari. Biaya untuk memulai usaha juga turun dari 10,9% dari pendapatan per kapita menjadi 6,1% dari pendapatan per kapita.
Indikator untuk mendapatkan kredit (getting credit) di Indonesia juga dinilai membaik dengan meningkatnya ketersediaan informasi kredit. Skor pada kemudahan mendapatkan kredit saat ini adalah 70,00.
(Baca juga: Tiga Indikator Penyebab Peringkat Kemudahan Usaha di Indonesia Turun)