Soal Laporan Coalruption, Luhut: Silakan Tindak Kalau Saya Salah

Arief Kamaludin|KATADATA
Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan.
17/12/2018, 21.35 WIB

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menepis tudingan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menyebut ia melakukan korupsi politik atau penyalahgunaan wewenang melalui perusahaan batu bara di bawah Toba Sejahtra Group. Ia mengaku, selama empat tahun belakangan tidak terlibat apapun dengan bisnis Toba Sejahtra.

Hal ini dikatakan Luhut menjawab pertanyaan awak media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/12) malam. Luhut menjelaskan satu-satunya urusan yang dilakukannya saat ini hanya mengurus pemerintahan, bukan Toba Sejahtra. "Tidak ada (kepentingan politik), kalau ada tindak saja. Saya pun (siap) ditindak kalau salah," kata Luhut.

Luhut menjanjikan tidak ada korupsi politik atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukannya. Apalagi jika tindakan tersebut diketahui anak buah yang melihat dirinya berbisnis ke sana-sini di luar urusan utamanya sebagai menteri. "Masa saya tidak malu sudah tua begini, malu dong," ujarnya.

Dia juga mengakui bahwa Toba Sejahtra merupakan perusahaan miliknya, namun sudah dilepas ke publik. Ia juga membantah tuduhan adanya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaannya. Menurut Luhut, perusahaannya tidak bisa menjadi perusahan publik apabila merusak lingkungan.

Sebelumnya, Luhut memiliki 99,98% saham Toba Bara Sejahtra melalui PT Toba Sejahtra. Kemudian, secara bertahap ia mengurangi kepemilikan sahamnya di perusahaan tersebut. Toba Sejahtra terakhir kali melepas 61,79% sahamnya kepada Highland Strategic Holdings Pte Ltd, perusahaan Singapura, senilai Rp 1,07 triliun pada 9 Desember 2016.

Pasca transaksi ini, kepemilikan saham Toba Sejahtra di Toba Bara hanya tersisa 9,99%. Per 31 Oktober 2018, pemegang saham Toba Bara terdiri atas Highland Strategic 61,91%, Toba Sejahtra 9,99%, Bintang Bara BV 10%, PT Bara Makmur Abadi 6,25%, PT Sinergi Sukses Utama 5,1%, dan masyarakat 6,74%.

(Baca: Elite Politik Dua Kubu Capres di Pusaran Bisnis Batu Bara)

Dugaan Korupsi

Sebelumnya, Greenpeace, Auriga, Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) merilis laporan berjudul Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara. Dalam laporan tersebut, mereka menyoroti para elite politik penguasa bisnis batu bara yang ada di kubu Calon Presiden dalam Pilpres 2019 Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto. Salah satunya adalah Luhut dengan Toba Sejahtra Group.

Tata Musytasya dari Greenpeace mengatakan, studi kasus yang dilakukan terhadap anak usaha Toba Sejahtra, yakni Kutai Energi, menunjukkan perusahaan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan. Dari data yang dirilis dalam Coalruption, 4 dari 10 lubang terbuka di daerah konsesi Kutai Energi di Kutai Kartanegara tidak direklamasi. Bahkan di salah satu lubang, airnya mengalir ke Sungai Nangka tanpa disaring. Meskipun ada temuan ini, belum ada tindakan untuk menghentikan pencemaran.

Tata menjelaskan, korupsi yang dilakukan para elite seperti contoh kasus ini adalah korupsi politik dengan memanfaatkan struktur oligarki dan desentralisasi. Coalruption menyebutkan, Bupati Kukar saat itu Rita Widyasari dianggap dekat dengan Luhut dengan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi bagi Trisensa Mineral Utama dan memperpanjang izin milik Indomining. Keduanya merupakan anak usaha Toba Sejahtra.

(Baca: KPK Soroti Besarnya Potensi Pajak Sektor Batubara yang Belum Tergali)

Reporter: Ameidyo Daud Nasution