Beban yang ditanggung PT Pertamina (Persero) semakin berat. Perusahaan BUMN energi ini memiliki utang sebesar Rp 522 triliun hingga kuartal III-2018. Padahal, di sisi lain, laba bersih Pertamina terus menyusut menjadi Rp 5 triliun.
Berdasarkan data yang dipaparkan Kementerian BUMN, posisi liabilitas Pertamina hingga kuartal III 2018 sebesar Rp 522 triliun. Besarannya sama dengan utang yang berbunga perusahaan tersebut. Jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, utang Pertamina sudah membengkak 40,7%.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius Kiik Ro menjelaskan, Pertamina mungkin memiliki utang yang bersifat cadangan atau memiliki utang usaha yang tidak berbunga. "Saya tidak sempat cek, mana yang cadangan, dan lain sebagainya. Jadi, anggap saja semuanya (liabilitas) benar-benar utang (berbunga)," katanya di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (4/12).
Mengacu pada laporan keuangan kuartal III 2017 Pertamina, yang termasuk dalam pos liabilitas yaitu liabilitas jangka panjang dengan porsi 65,6% dari total liabilitas atau sekitar Rp 243 triliun. Sisanya 34,4% liabilitas jangka pendek atau sekitar Rp 127 triliun. Jadi, total liabilitas perusahaan hingga akhir kuartal 2017 sebesar Rp 371 triliun.
Dalam pos liabilitas jangka panjang, porsi terbesar yaitu utang obligasi yang porsinya nyaris separuh dari liabilitas jangka panjang, kemudian utang jangka panjang pemerintah setelah dikurangi bagian lancar pemerintah, dan yang paling kecil, utang jangka panjang lain-lain.
Dalam pos liabilitas jangka pendek, ada pinjaman jangka pendek, utang usaha yang tidak berbunga, utang pemerintah (bagian lancar), utang pajak, serta utang lain-lain.
Yang menjadi sorotan dari kinerja keuangan Pertamina justru pada pos laba yang merosot signifikan. Sampai kuartal III tahun ini Pertamina baru mengantongi laba sebesar Rp 5 triliun, turun 85,7% dibandingkan laba pada periode yang sama tahun sebelumnya, sebesar Rp 35 triliun.
Pihak Pertamina sendiri tidak membantah kalau laba tahun 2018 akan turun signifikan, walaupun laba tahun ini ditargetkan sama dengan realisasi tahun 2017. "Tentunya berkurang, tapi kami masih akan membukukan laba sampai akhir tahun," kata Direktur Keuangan Pertamina Pahala N. Mansury beberapa waktu lalu.
Laporan Fitch Rating menyebutkan beban keuangan Pertamina akan bertambah berat karena harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar dan Premium tidak naik. Bahkan, peringkat utang perusahaan pelat merah itu terancam turun.
Berdasarkan publikasi Fitch Rating, EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) atau pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisas Pertamina sepanjang tahun 2018 akan turun di bawah US$ 6 miliar. Padahal, tahun 2017 bisa mencapai US$ 6,9 miliar.
Penurunan itu karena pemerintah menahan harga solar dan premium di saat harga minyak terus meningkat. Alhasil, Pertamina harus menanggung beban selisih harga keekonomian yang dijual ke masyarakat.
Penambahan subsidi Solar menjadi Rp 2.000 per liter dari Rp500 per liter itu pun tidak membantu signifikan. Namun, harga Solar dan Premium yang dijual Pertamina ditambah subisidi itu masih di bawah harga pasar sekitar 60% -75%.
Bahkan, pemerintah masih harus membayar dana talangan Pertamina. Tahun 2017, dana yang harus dibayarkan pemerintah sekitar US$ 2 miliar. Semester I tahun 2018 sekitar US$ 1,2 miliar. Angka itu akan naik lagi di semester II tahun 2018 mengingat harga minyak dunia meningkat.
(Baca: Disorot Fitch, Pertamina Akui Laba Bersih Tahun Ini Turun)