Politik Abu-abu Demokrat di Pilpres 2019 untuk AHY

ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan pidato politik di Gedung Pemuda, Temanggung, Jawa Tengah, Kamis (12/4/2018).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
15/11/2018, 10.31 WIB

Sikap Partai Demokrat menuai polemik di internal Koalisi Indonesia Adil dan Makmur. Demokrat dianggap memiliki standar ganda dengan membebaskan kadernya untuk menentukan pilihan kandidatnya dalam Pilpres 2019. Padahal, sebagai partai, Demokrat telah mengusung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Sikap ini dilontarkan oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR Edhi Baskoro Yudhoyono di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (11/11). Ketika itu, Ibas -sapaan akrab Edhie Baskoro- menyatakan Demokrat mengetahui kader yang punya sikap berbeda dengan partai terkait Pilpres.

Ketika Demokrat mengusung pasangan Prabowo-Sandiaga, beberapa kader justru mendukung pesaingnya, Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Mereka seperti Gubernur Papua Lukas Enembe, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang, dan mantan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar.

Meski demikian, Demokrat tak menjatuhkan hukuman kepada kader yang berbeda pilihan. Sebab, kata Ibas, Demokrat merupakan partai yang demokratis. “Kami hanya bisa menyerukan, tetapi kalau memberikan punishment tidak bisa,” kata Ibas.

Sikap Demokrat ini disindir oleh Gerindra sebagai rekan satu koalisinya. Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjadhid menilai seharusnya Demokrat memerintahkan para kadernya bersikap sejalur dengan partai. “Sebaiknya kita konsisten, pilih presiden maka calegnya pun memilih presiden,” kata Sodik.

Sekretaris Jenderal Gerindra Ahmad Muzani mengklaim konsistensi tersebut dicontohkan oleh partainya. Menurut Muzani, tak ada toleransi bagi kader Gerindra jika tidak memilih Prabowo-Sandiaga dalam Pilpres 2019.

Hanya saja, Muzani tak bisa melarang sikap Demokrat yang membebaskan kadernya memilih kandidat Pilpres 2019. “Itu sepenuhnya tanggung jawab Demokrat,” kata Muzani.

Fokus Pemilihan Legislatif

Langkah Demokrat membebaskan kadernya menentukan pilihan kandidat dalam Pilpres tak lepas dari kepentingan mereka atas pemilihan legislatif. Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai pembebasan pilihan kandidat itu untuk menggalang suara di berbagai daerah pemilihan (dapil).

Jika berkukuh mendukung Prabowo-Sandiaga, padahal di dapil tersebut suara paling besar dimiliki Jokowi-Ma'ruf, hal itu tak akan menguntungkan Demokrat. Sebab, tidak semua pemilih Demokrat mendukung Prabowo-Sandiaga. “Pemilih Demokrat memang terbelah, ada yang dukung Jokowi, ada yang dukung Prabowo. Demokrat 'terpaksa' mengikuti pola di dapil,” kata Djayadi ketika dihubungi Katadata.co.id, Rabu (14/11).

Analisis serupa disampaikan Yunarto Wijaya. Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika ini, Demokrat tak mungkin berkukuh mendukung penuh Prabowo-Sandiaga lantaran tidak mendapatkan efek ekor jas atau coat tail effect. Sebab, efek tersebut saat ini hanya didapatkan oleh Gerindra.

Yunarto mengatakan, ada korelasi yang linier antara elektabilitas Prabowo-Sandiaga terhadap Gerindra. Hal ini tak terjadi kepada partai lainnya di Koalisi Indonesia Adil dan Makmur, termasuk Demokrat. “Itu yang menurut saya menyebabkan sikap realistis tersebut diambil oleh Demokrat,” kata Yunarto.

Selain terkait Pileg, Yunarto berspekulasi dibebaskannya pilihan kandidat kepada kader Demokrat berkaitan dengan kepentingan Komandan Komando Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dia berpeluang cukup besar untuk maju di 2024 menjadi kandidat jika Jokowi-Ma'ruf yang memenangkan Pilpres 2019.

Sebab, Jokowi sudah dua kali menjabat sebagai Kepala Negara. Ada pun, Ma'ruf dipandang sudah cukup sepuh sehingga tak berambisi untuk maju. Sementara jika Prabowo-Sandiaga yang menang, peluang AHY maju di Pilpres 2024 semakin kecil.

Prabowo berpotensi maju untuk kedua kalinya pada 2024.  Hal serupa pun terjadi kepada Sandiaga yang memiliki usia lebih muda ketimbang Prabowo. “Kalau mau berspekulasi, peluang AHY lebih terbuka ketika yang menang adalah Jokowi-Ma'ruf,” ucap Yunarto.

Lebih lanjut, Yunarto menilai sikap 'standar ganda' Demokrat ini juga bisa terjadi karena belum tuntasnya persoalan dengan Gerindra di internal Koalisi Indonesia Adil dan Makmur. Para elit Demokrat dan Gerindra mulai saling menyindir terkait sikap partai berlambang Mercy tersebut.

Hanya saja, Yunarto menyarankan Demokrat untuk menghitung ulang sikapnya. Sebab, bisa saja ada pemilih tradisional Demokrat yang beralih karena kecewa partai membebaskan kader dalam memilih kandidat Pilpres 2019.

Hal ini dapat terjadi karena ada ikatan emosional yang cukup kuat antara pemilih tradisional Demokrat dan Prabowo-Sandiaga. Sementara ikatan emosional pemilih tersebut dengan Demokrat masih lemah. “Itu yang harus dihitung juga oleh Demokrat,” ucapnya.