Perusahaan Internet Grup Lippo Berpotensi Pailit

Bolt
Bolt merayakan pencapaian 3 juta pelanggan pada Juni 2017 lalu.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
13/11/2018, 17.08 WIB

Perusahaan penyedia jasa internet milik Grup Lippo, PT Internux, menghadapi gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang kini dalam tahap akhir persidangan. Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat batal memutuskan putusan gugatan PKPU tersebut hari ini.

PT Internux yang merupakan produsen modem Bolt, menghadapi gugatan PKPU dengan total tagihan Rp 4,69 triliun dari 283 kreditur. Rinciannya, sebesar Rp 226 miliar dari 2 kreditur separatis (berjaminan) dan 281 kreditur konruen (tidak berjaminan) senilai Rp 4,47 triliun. Sementara PT First Media, induk perusahaan Bolt, menyebut total utang Internux hanya Rp 4,26 triliun.

 Hakim batal membacakan lantaran hingga saat ini belum adanya kesepakatan dari PT Internux terkait fee pengurus PKPU. "Ditunda sampai besok," kata Ketua Majelis Hakim Abdul Kohar di PN Jakarta Pusat, Selasa (13/11).

(Baca juga: Belitan Utang yang Mengancam Perusahaan Internet Grup Lippo)

Kohar memberikan waktu satu hari bagi PT Internux dan pengurus PKPU untuk menyelesaikan masalah fee tersebut. Kedua pihak, lanjut Kohar, harus menandatangani surat kesepakatan tersebut.

Kohar pun meminta agar surat kesepakatan fee pengurus PKPU dapat diberikan kepada majelis hakim pada Rabu (13/11) pagi. Jika hal tersebut tidak dilakukan, Kohar mewanti-wanti PT Internux berpotensi pailit.

Sebab, pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian jika pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin. Pengadilan juga wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian jika imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 285 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. "Akibatnya sudah dijelaskan," kata Kohar.

(Baca: Beban Berat Grup Lippo Menanggung Biaya Iklan Meikarta)

Pengurus PKPU Tommy Sugih juga menyebut jika nilai fee mereka tidak disepakati, maka pengadilan bisa membatalkan kesepakatan perdamaian. Putusan, lanjut Tommy, harus dibacakan besok sebab sudah pernah ditunda pada 31 Oktober 2018.

Pengadilan hanya memiliki waktu 14 hari untuk memberikan putusan setelah ditunda. "Sudah tidak bisa ditunda lagi. Sudah disampaikan kalau tidak setuju ya pailit," kata Tommy.

Menurut Tommy, fee yang ditawarkan oleh pengurus PKPU sebenarnya lebih kecil dibandingkan besaran yang tercantum dalam Pasal 5 Peraturan Menkumham Nomor 11 Tahun 2016.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa imbalan bagi pengurus dibebankan kepada debitur dengan ketentuan paling banyak 6% dari nilai utang yang harus dibayarkan.

Hanya saja, Tommy bingung mengapa PT Internux sebagai debitur masih belum juga menyetujui fee pengurus PKPU. "Masih enggak setuju juga, maunya berapa?" tanya Tommy.

(Baca: Upaya Lippo Group Menyelamatkan Meikarta)

Pada 30 Oktober, PT Internux dan para kreditur telah melaksanakan voting atas proposal perdamaian. Dalam voting ini, semua kreditur separatis menyetujui perdamaian.

Sementara masih ada 20% kreditur konruen yang menolak usulan tersebut. Sekadar informasi, sekitar 61% kreditur merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Internux.

Internux masuk belenggu PKPU berdasarkan permohonan krediturnya, PT Equasel Selaras dan PT Intiusaha Solusindo. Equasel berupaya menagih utang senilai Rp 3,21 miliar yang berasal dari peralihan utang Internux kepada PT Cursor Media.

Sementara tagihan Intiusaha senilai Rp 932 juta dari peralihan piutang PT Nusapro Telemedia Persada. Kemudian menyusul perusahaan-perusahaan lain, termasuk kepada pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Utang Menumpuk

Berdasarkan laporan keuangan First Media, Internux disebutkan memiliki utang dari beberapa kreditur. Salah satunya kepada PT CIMB Niaga Tbk (BNGA) senilai Rp 510,75 miliar. Namun, utang ini telah dialihkan kepada First Media untuk membayarnya senilai Rp 540 miliar yang akan jatuh tempo pada 2023.

Utang lainnya adalah kepada Raiffeisen Bank International AG, Malaysia. Pada Mei 2014, Internux mendapat fasilitas kredit senilai US$ 50 ribu yang bisa ditingkatkan hingga US$ 100 ribu.

Pinjaman ini memiliki jaminan surat piutang, aset, dan penjaminan dari pemegang saham Internux. Posisi utang kepada Raiffeisen per September 2018 sebesar Rp 667,05 miliar.

Sebenarnya, total utang yang masuk dalam PKPU Internux mencapai Rp 5,65 triliun. Namun, nilai ini berkurang, karena Tim Pengurus PKPU mengeluarkan tagihan utang dari Raiffeisen senilai Rp 954 miliar.

Kemudian fasilitas pembayaran jangka panjang dari PT Huawei Tech Investment selama 36 bulan sejak Juli 2015. Internux telah menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Notes) senilai US$ 7.027 dan telah membayar US$ 5.870. Untuk utang yang dilakukan pada 2013, Internux juga menerbitkan Promissory Notes senilai US$ 62 miliar dan telah dilunasi.