PT Internux, perusahaan penyedia jasa internet Grup Lippo tengah dililit permasalahan utang hingga triliunan rupiah dari ratusan krediturnya. Namun, produsen modem merek Bolt ini berpeluang selamat dari kepailitan dan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) hampir berujung damai atau homologasi.  

Saat ini Internux harus menghadapi gugatan PKPU dengan total tagihan Rp 4,69 triliun dari 283 kreditur. Rinciannya, sebesar Rp 226 miliar dari 2 kreditur separatis (berjaminan) dan 281 kreditur konruen (tidak berjaminan) senilai Rp 4,47 triliun. Sementara First Media menyebut total utang Internux hanya Rp 4,26 triliun.

Terkait permasalahan utang ini PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah meminta penjelasan kepada induk usahanya, yakni PT First Media Tbk. pada 30 Oktober lalu. Otoritas pasar modal ingin mengetahui apakah permasalahan yang dihadapi Internux bisa berpengaruh besar terhadap bisnis First Media.

"Pada 30 Oktober telah dilaksanakan voting atas proposal perdamaian yang disetujui oleh mayoritas kreditur," Kata Sekretaris Perusahaan First Media Shinta M Paruntu dalam keterangannya kepada BEI, Senin (5/11).

(Baca: Beban Berat Grup Lippo Menanggung Biaya Iklan Meikarta)

Dalam voting ini, semua kreditur menyetujui perdamaian. Sementara masih ada 20% kreditur konruen yang menolak usulan tersebut. Sekadar informasi, sekitar 61% kreditur merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Internux. Hasil putusan sidang PKPU baru akan ditentukan pada 13 November, pekan depan.

Sidang lanjutan akan menentukan nasib Internux dan pembayaran utang dari krediturnya.“Kreditur dapat menyaksikan sendiri apakah majelis akan mengesahkan perdamaian atau menyatakan debitur pailit," kata Hakim Pengawas Marulak Purba usai membacakan hasil pemungutan suara di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Selasa (30/10).

Keuangan Internux
(First Media)

Internux merupakan anak usaha First Media yang terafiliasi Grup Lippo. Melalui anak usahanya PT Mitra Media Mantap, First Media baru menambah kepemilikannya di Internux dari 74,58% menjadi 75,88% pada awal tahun lalu. Sisa saham Internux dipegang oleh Prosper International Limited sebesar 4% dan Asia Pacific Mobile Pte. Ltd sebesar 20%.

Bisnis yang lesu dan kalah bersaing membuat perusahaan ini tak mampu membayar utang yang menumpuk hingga triliunan rupiah. Perusahaan ini terpaksa harus merestrukturisasi utang-utangnya melalui jalur PKPU sejak 17 September 2018 lalu. Perkara ini terdaftar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan nomor 126/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst.

Internux masuk belenggu PKPU berdasarkan permohonan krediturnya, PT Equasel Selaras dan PT Intiusaha Solusindo. Equasel berupaya menagih utang senilai Rp 3,21 miliar yang berasal dari peralihan utang Internux kepada PT Cursor Media. Sementara tagihan Intiusaha senilai Rp 932 juta dari peralihan piutang PT Nusapro Telemedia Persada. Kemudian menyusul perusahaan-perusahaan lain, termasuk kepada pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

(Baca: Upaya Lippo Group Menyelamatkan Meikarta)

Berdasarkan laporan keuangan First Media, Internux disebutkan memiliki utang dari beberapa kreditur. Salah satunya kepada PT CIMB Niaga Tbk (BNGA) senilai Rp 510,75 miliar. Namun, utang ini telah dialihkan kepada First Media untuk membayarnya senilai 540 miliar yang akan jatuh tempo pada 2023. "Perseroan akan mengganti posisi Internux sebagai debitur," tulis Shinta dalam keterbukaan informasi kepada BEI, Agustus lalu.

Utang lainnya adalah kepada Raiffeisen Bank International AG, Malaysia. Pada Mei 2014, Internux mendapat fasilitas kredit senilai US$ 50 ribu yang bisa ditingkatkan hingga US$ 100 ribu. Pijaman ini memiliki jaminan surat piutang, aset, dan penjaminan dari pemegang saham Internux. Posisi utang kepada Raiffeisen per September 2018 sebesar Rp 667,05 miliar. Sebenarnya, total utang yang masuk dalam PKPU Internux mencapai Rp 5,65 triliun. Namun, nilai ini berkurang, karena Tim Pengurus PKPU mengeluarkan tagihan utang dari Raiffeisen senilai Rp 954 miliar.

Kemudian fasilitas pembayaran jangka panjang dari PT Huawei Tech Investment selama 36 bulan sejak Juli 2015. Internux telah menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Notes) senilai US$ 7.027 dan telah membayar US$ 5.870. Untuk utang yang dilakukan pada 2013, Internux juga menerbitkan  Promissory Notes senilai US$ 62 miliar dan telah dilunasi.

Saat rapat dengan para kreditur di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 29 Oktober lalu, Presiden Direktur Internux Dicky Moechtar menjelaskan lilitan utang ini terjadi akibat mandeknya bisnis perusahaan selama empat tahun. Pada 2009, perusahaannya mendapat alokasi frekuensi pita lebar (Wireless Broadband), tapi baru bisa beroperasi komersial pada 2013.

Banyak hambatan selama empat tahun tersebut. Dampaknya, Internux tidak mendapatkan pemasukan, tapi harus tetap menanggung biaya operasional perusahaan. Para pemegang saham telah mengeluarkan investasi hingga Rp 8 triliun dan perusahaan pun terpaksa harus berutang pada banyak pihak.

Cerita bermula ketika jaringan frekuensi yang dimenangkan Internux pada 2009 ternyata belum steril. Masih banyak instansi pemerintah yang menggunakan frekuensi tersebut. Internux harus menunggu dua tahun untuk membersihkan frekuensi tersebut.

Masalahnya belum selesai. Dalam tender disebutkan teknologi yang digunakan untuk pemanfaatan frekuensi tersebut jenis wimax yang belum dimiliki dan perangkatnya pun tidak tersedia di pasaran. Internux tetap menggelar jaringan frekuensi yang telah dimilikinya dengan teknologi seadanya, meski belum bisa dilakukan secara komersial.

Mereka kemudian mengajukan izin untuk menggunakan teknologi netral 4G LTE pada 2012 dan pemerintah pun mengabulkannya. Namun, perusahaan ini harus berinvestasi ulang karena tidak memiliki teknologi tersebut. Perangkatnya pun belum tersedia di Indonesia, sehingga harus membeli dari luar negeri.

Pada saat yang sama, pemerintah mengeluarkan aturan soal penggunaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Sekitar 50% perangkat telekomunikasi pita lebar nirkabel harus dipenuhi dari dalam negeri pada 2015. Internux berhasil menggandeng pabrikan domestik untuk memproduksinya.

Akhir 2013, perusahaan ini menjadi pionir teknologi 4G LTE, karena fasilitasnya sudah disiapkan sebelumnya. Ketika mulai beroperasi komersial, hanya Internux yang menyelenggarakan layanan jaringan ini. Sementara beberapa operator pemenang tender frekuensi lain tak melakukannya.

Dengan keterbatasan ini, jaringan Internux tak terkoneksi di luar wilayah yang dizinkannya. Pelanggan Bolt tak bisa menggunakan layanan di luar Zona 4 yang digarap Internux, yaitu Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Banten. Padahal, perusahaan juga mendapatkan frekuensi di Zona 1, yakni Sumatra bagian utara.

Pada 2014 pemerintah memberikan alokasi frekuensi kepada salah satu operator telekomunikasi yang memiliki cakupan layanan hampir seluruh Indonesia. Namun, Bolt tak mampu bersaing dengan produk-produk perusahaan telekomunikasi lainnya, sehingga penjualannya pun turun.

(Baca: Skandal Meikarta yang Menggoyang Pohon Bisnis Grup Lippo)

Sekarang, demi keberlangsungan usaha dan melunasi seluruh utangnya, Internux berencana akan menghentikan bisnis prabayar. Perusahaan akan mengurangi pelanggan Bolt Mobile dengan menghentikan penjualan modem dan perangkat mobile, sehingga fokus pada penambahan pelanggan pascabayar (Bolt Home). Pelanggan prabayar masih tetap bisa dilayani dengan membeli voucher internet dalam jaringan mitra Internux.

Penataan Frekuensi Broadband Oleh Pemerintah

Internux juga akan berupaya merelokasi peralatan telekomunikasi ke lokasi tower yang sesuai dengan karakteristik pelanggan Bolt Home. Langkah-langkah ini merupakan upaya perseroan menekan biaya operasional. Biaya-biaya tower bisa berkurang hingga Rp 300 miliar.

Hasil Penataan Spektrum Frekuensi Radio
(Kementerian Kominfo)
 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami