Ambisi mewujudkan megaproyek Meikarta menyebabkan perusahaan properti Grup Lippo menanggung beratnya beban keuangan. Demi mempromosikan proyek ambisius tersebut, Lippo telah menggelontorkan dana lebih dari Rp 1,5 triliun. Namun, di masa depan, hasil penjualan properti itu belum tentu bisa dinikmati sepenuhnya pasca pemisahan perusahaan pengembang Meikarta dari induknya.
Masifnya iklan Meikarta sudah terlihat sejak awal tahun lalu. Hampir di semua media promosi seperti televisi, radio, surat kabar, billboard, hingga media sosial dipenuhi iklan Meikarta, yang menawarkan hunian berkelas metropolitan di sebelah timur Jakarta.
Merujuk pada riset Nielsen Ad Intel, Meikarta menempati urutan pertama sebagai produk dengan biaya iklan terbesar. Sekitar 58% iklan tersebut disebar dalam bentuk cetak, dan sisanya ditayangkan dalam bentuk digital. Selain itu, Meikarta menyumbang 36% dari total iklan properti yang dipublikasikan sepanjang 2017.
Nielsen mencatat total biaya iklan yang dikeluarkan seluruh produk sepanjang tahun lalu sebesar Rp 145,5 triliun. Meikarta bersanding dengan Traveloka dan Indomie di posisi dua dan tiga dengan biaya iklan masing-masing Rp 1,1 triliun dan Rp 981,5 miliar. Riset ini mencakup iklan yang bertebaran pada 15 stasiun TV nasional, 99 surat kabar dan 120 majalah dan tabloid.
Tak hanya menempati urutan pertama pada riset Nielsen, iklan Meikarta juga jauh meninggalkan para pesaingnya di sektor properti. Jika dibandingkan dengan beban penjualan dan beban usaha, proporsi biaya iklan dan promosi PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) –yang merupakan induk usaha pengembang Meikarta-- paling besar.
Berdasarkan laporan keuangan 2017, LPCK tercatat menghabiskan Rp 126 miliar untuk bagian promosi dan iklan. Sedangkan, untuk total beban penjualan sebesar Rp 176,2 miliar. Artinya, lebih dari 70 % beban penjualan berasal dari iklan dan promosi.
Lebih jauh lagi, iklan dan promosi ini menyumbang 45% dari total beban usaha keseluruhan yang mencapai Rp 278 miliar. Pos beban penjualan dan usaha ini bersamaan juga dengan gaji karyawan, perizinan, hingga perbaikan dan pemeliharaan.
Bandingkan dengan pesaingnya di sektor properti, proporsi biaya iklan dan properti tidak ada yang lebih dari 60 % terhadap total beban penjualan. Yang mendekati LPCK adalah PT Ciputra Develompent Tbk (CTRA) yang memiliki proporsi 57%, disusul oleh PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) sebesar 54%.
Di sisi lain, perusahaan properti milik Grup Sinarmas yakni PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) hanya mengalokasikan 41,6 % untuk iklan dan promosi. Proporsi yang lebih kecil bisa dilihat pada PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), salah satu pengembang terbesar di Jakarta, memiliki porsi 31% untuk iklan dan promosi.
Kondisi tersebut jauh berbeda dengan perbandingan total beban usaha. Dari lima perusahaan yang dibandingkan, semuanya berada pada angka maksimal 15%. Bahkan, APLN hanya memiliki proporsi 3,24% terhadap beban usaha.
Perusahaan | Iklan dan Promosi (Rp Miliar) | Beban Penjualan (Rp Miliar) | Total Beban Usaha (Rp Miliar) |
PT. Lippo Cikarang Tbk | 126.4 | 176.2 | 278.2 |
PT. Ciputra Development Tbk | 191.5 | 332.7 | 1774.1 |
PT. Summarecon Agung Tbk | 183.1 | 338.7 | 1228.6 |
PT. Bumi Serpong Damai Tbk | 379.9 | 912.6 | 2528 |
PT. Agung Podomoro Land Tbk | 79.9 | 252.9 | 2464.3 |
Sumber: Bursa Efek Indonesia (diolah) |
Berdasarkan data-data di atas, terlihat bahwa iklan dan promosi merupakan pos penting dan menjadi yang utama bagi Meikarta atau Lippo Cikarang sebagai perusahaan induk. Perusahaan berani mengeluarkan dana besar untuk promosi dibandingkan pos lain yang menjadi beban usaha dan penjualan.
Pengeluaran iklan dan promosi oleh Lippo Cikarang mulai meningkat pada medio 2017 seiring dengan peluncuran proyek besar mereka yakni Meikarta. Biaya iklan sepanjang 2017 sebesar Rp 126 miliar, melonjak 177% dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp 45 miliar.
Jika dirinci per kuartal, biaya iklan selalu meningkat pada kuartal II dan IV. Bahkan hingga 2018, biaya yang dikeluarkan pada April-Juni tahun ini mencapai Rp 71,9 miliar. Sedangkan secara akumulasi sepanjang Januari-Juni 2018 sudah mengeluarkan Rp 99 miliar atau meningkat 74% dibandingkan periode sama tahun lalu.
Perbedaan nilai yang dicatatkan pada laporan keuangan dan riset Nielsen rupanya berhulu pada pos iklan yang belum dibukukan. Menilik lebih lanjut, beberapa pos iklan dan promosi masih berada pada “Beban dibayar di muka” sebesar Rp 552 miliar, “Aset tidak lancar” sebesar Rp 660 miliar dan juga “Beban Akrual” Rp 42,3 miliar.
Saat ini, beberapa pos tersebut masih dalam status utang yang tercantum dalam liabilitas dan belum dicatat sebagai beban usaha. Namun, cepat atau lambat akan segera dicatatkan dan menjadi beban penjualan dan usaha dari Lippo Cikarang.
Seperti pada Juni yang lalu, pengembang Meikarta yaitu PT Mahkota Sentosa Utama pernah menghadapi gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas tagihan utang biaya iklan yang mencapai puluhan miliar rupiah.
Gugatan tersebut diajukan oleh PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi yang merupakan mitra Meikarta dalam menciptakan dan memasarkan iklan. Dalam beberapa waktu ke depan, bukan tidak mungkin biaya iklan yang menjadi beban penjualan dan usaha ini akan menggerus laba korporasi secara bertahap.
Kabar terbaru, nilai aset Lippo Cikarang turun sebesar Rp 3 triliun menjadi Rp 9,4 triliun pada kuartal III 2018 pasca tidak lagi dikonsolidasikannya MSU dalam laporan keuangan Lippo Cikarang. LPCK kehilangan kendali atas MSU sejak Mei lalu.
Kondisi ini diprediksi akan memperburuk kondisi keuangan Lippo Cikarang. Sebab, besarnya biaya promosi dan iklan yang diutamakan untuk Meikarta, tidak bisa dipetik hasilnya saat penjualan telah dibukukan.
***
Editor: Nazmi Haddyat Tamara