Mafindo Catat Hoaks Politik Merajalela Jelang Pilpres 2019

ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
Demonstrasi menolak penolakan penyebaran berita bohong (hoax) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (22/1).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
16/10/2018, 19.53 WIB

Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat penyebaran kabar bohong atau hoaks akan semakin meningkat jelang Pilpres 2019. Berdasarkan data Mafindo selama tiga bulan terakhir,  hoaks politik paling banyak dibandingkan isu lainnya. 

Mafindo mencatat terdapat 230 hoaks yang terklarifikasi sebagai disinformasi selama periode Juli-September 2018. Rinciannya, hoaks pada Juli 2018 sebanyak 65 konten, Agustus 2018 sebanyak 79 konten, dan meningkat menjadi 107 konten pada September 2018.

(Baca juga: Hoaks Semakin Merajalela Menjelang Pilpres 2019

Sarana yang paling banyak digunakan untuk menyusun hoaks itu, yakni narasi dan foto (50,43%), narasi (26,96%), narasi dan video (14,78%), dan foto (4,35%). Dari jumlah tersebut, hoaks paling banyak disebarkan di Facebook (47,83%), Twitter (12,17%), Whatsapp (11,74%), dan Youtube (7,83%).

"(Tren hoaks) ini akan naik sampai April sampai pemilihan," kata Presidium Mafindo Anita Wahid di Kemenkominfo, Jakarta, Selasa (16/10).

Anita mengatakan, hoaks yang akan semakin mendominasi bermuatan isu politik. Selama Juli-September 2018, Mafindo mencatat jumlah hoaks politik mencapai 135 buah atau 58,7%. Sisanya, 7,39% bermuatan agama, 7,39% penipuan, 6,69% lalu lintas, dan 5,2% kesehatan.

(Baca pula: Hoaks dan Sikap Elite Politik Picu Keretakan Sosial saat Pemilu)

Selama September 2018, hoaks politik yang menyerang pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebanyak 36 konten. Sementara, hoaks politik yang menyerang pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mencapai 16 konten.

Menurut Anita, maraknya hoaks politik ini mengancam demokrasi. Jika dibiarkan, hal tersebut dapat memicu keributan yang bisa mengarah kepada disintegrasi bangsa.

"Hoaks terkait politik berdampak pada turunnya kredibilitas penyelenggaraan pemilihan umum. Kualitas pemilihan juga menurun dan merusak rasionalitas pemilih," kata Anita.

(Baca juga: PSI Minta Fadli Zon Tak Gunakan Hoaks Sebagai Strategi Politik)

Untuk itu, Anita menilai elite politik tak boleh menggunakan hoaks guna memenangkan kontestasi politik saaat ini. Menurutnya, para elite harus lebih bertanggung jawab dengan menggunakan media sosial secara lebih bijak.

Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menambahkan, para elite politik harus pula mengkampanyekan perlawanan terhadap hoaks. Hal ini penting untuk memberikan penyadaran bagi masyarakat untuk berhati-hati atas maraknya penyebaran hoaks.

Lebih lanjut, Septiaji menilai para politisi harus menghindari penggunaan kampanye negatif. Septiaji mengatakan, kampanye negatif sebenarnya sah saja dilakukan.

Hanya saja, dia menilai belum banyak masyarakat yang paham bahwa kampanye tersebut tetap harus berdasarkan fakta. Jika praktik kampanye itu dicontoh masyarakat, bisa jadi akan banyak yang terjerat dalam kampanye hitam.

"Kampanye negatif ini seharusnya dihindari, karena kalau kita ingin demokrasi sehat tentu kampanye positif yang kita dahulukan," kata Septiaji.

Septiaji juga mendorong para figur publik dapat berpartisipasi mengkampanyekan literasi digital kepada masyarakat. Menurut Septiaji, figur publik memiliki pengaruh untuk bisa menembus ruang gaung yang terjadi di antara sekat-sekat kelompok masyarakat.