Membuka Celah Pasar untuk Karya Seniman Difabilitas

Dini Hariyanti|Katadata
Karya lukis dari seniman difabel yang dipamerkan dalam Festival Bebas Batas di Galeri Nasional, Jakarta, 12-29 Oktober 2018
Penulis: Dini Hariyanti
15/10/2018, 17.24 WIB

Pada 12 - 29 Oktober 2018, masyarakat dapat menyaksikan Festival Bebas Batas di Galeri Nasional, DKI Jakarta. Pameran karya lukis ini diharapkan dapat membuka kesempatan lebih luas bagi seniman difabilitas untuk berkarya di industri kreatif subsektor seni rupa.

Kurator Festival Bebas Batas Sudjud Dartanto mengatakan, sebaiknya memang tak dibeda-bedakan antara karya dari seniman nondifabel dengan mereka yang berkebutuhan fisik maupun mental khusus (difabilitas).

"Kita harus meyakinkan publik bahwa karya dari entitas difabilitas ini juga memiliki gagasan (seni) yang kuat. Ini agar jangan malah terjadi sekat bagi para disabilitas karena mengaitkan karya dengan latar belakang senimannya," tutur dia kepada Katadata.co.id, di Jakarta, Senin (13/10).

(Baca juga: Pegiat Seni Difabel Jadi Sorotan UK/ID Festival 2018

Festival Bebas Batas menampilkan 35 karya lukis dari peserta hasil seleksi terbuka (open call) serta sepuluh lukisan peserta undangan, baik dari dalam dan luar negeri. Karya yang dipamerkan seluruhnya digarap oleh para seniman berkemampuan fisik dan mental khusus.

Sebagian besar meliputi karya dua dimensi, baik lukisan, fotografi, gambar, media campur, hingga audio visual interaktif. Bentuk dan teknik yang digunakan beragam mulai dari konvensional sampai dengan kontemporer.

Pameran seni rupa tersebut merupakan yang pertama melibatkan pemerintah, komunitas seni, institusi swasta, bahkan museum seni di luar negeri. Selain Kemendikbud dan Kemensos, dukungan juga mengalir dari British Council Kedubes Inggris, Galeri Nasional Indonesia, Art Brut Indonesia, pemerintah Jepang, serta perusahaan pelat merah.

Sudjud menuturkan, Festival Bebas Batas selayaknya dapat merangsang apresiasi yang lebih luas terhadap karya para seniman difabilitas. Sinergi di antara seniman difabilitas dengan mereka yang tergolong nondifabel akan memperkaya dunia seni dan budaya di Indonesia.

"Melihat karya seni dari seniman difabilitas ini tidak bisa dengan paradigma kasihan. Bagaimanapun memang konten di dalam karyanya harus berkarakter. Semoga karya ini bisa diapresiasi dan akhirnya membukakan peluang pasar lebih luas," katanya.

(Baca juga: Cerita Didiet Maulana Rancang Busana Sri Mulyani hingga Lagarde)

Festival Bebas Batas mengangkat soal pemerataan ruang berekspresi bagi penyandang difabilitas. Proses kurasi mengedepankan orisinalitas karya sehingga dapat mencerminkan gejolak rasa si pembuat. Gagasan ini dituangkan dalam tema "Pokok di Ambang Batas".

Ide karya seni yang ditampilkan membentang dari pengalaman pribadi hingga kritik atas kondisi sosial dan budaya. Tanpa memusingkan diagnosa medis atas diri si seniman, imbuh Sudjud, pada dasarnya karya-karya dalam Festival Bebas Batas berkarakter.

"Pada titik ini, apakah masih penting dan perlu mereka menyandang predikat atau cap sebagai kaum disabilitas saat mereka berada di dalam ranah seni?" ujarnya.

Seni selayaknya menjadi medium untuk membebaskan seseorang dari stigma termasuk penamaan sebagai kelompok disabilitas. Menurut Sudjud, kondisi fisik maupun mental si seniman tak penting karena yang menjadi fokus adalah ekspresi yang tertuang dalam karya mereka.

Sementara itu, Seniman Joko Kisworo berpendapat bahwa apabila misi yang diusung adalah membuka kesempatan berekspresi bagi para difabel maka yang perlu ditampilkan dalam sebuah pameran seni rupa tidak hanya mereka yang memang notabene seniman.

"Di pameran ini saya rasa yang ditampilkan sebagian besar adalah karya yang memang si pembuatnya sudah punya track record (di dunia seni). Mungkin sebaiknya, misalnya, diberi separuh ruang untuk memamerkan (hasil berkesenian) dari difabel," ucapnya kepada Katadata.co.id secara terpisah.

Joko merupakan seniman yang memang terjun langsung menyoroti isu kesehatan mental. Pada April 2018, dia didapuk menjadi kurator pameran seni lukis berjudul "Ekspresi Ragam Jiwa" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pameran ini diselenggarakan oleh komunitas Bipolar Care Indonesia untuk memberi ruang ekspresi kepada penyandang gangguan mental.