Agar Kebal Perang Dagang, Industri Fesyen Butuh Lebih Banyak Desainer

Jakarta Fashion Week
Pagelaran busana yang digelar pada Jakarta Fashion Week (JFW) 2018 di Senayan City, Oktober 2017 lalu.
Penulis: Dini Hariyanti
Editor: Pingit Aria
2/10/2018, 15.45 WIB

Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menginginkan lebih banyak pelaku industri kreatif subsektor fesyen tampil sebagai perancang mode. Semakin banyak desainer nasional yang mendunia diharapkan bisa meningkatkan nilai tambah industri turunan pertekstilan ini.

Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph Pesik menuturkan bahwa pihaknya berupaya membukakan peluang pasar yang lebih luas bagi para desainer fesyen Indonesia. Bekraf mendorong semakin banyak terjalin kemitraan bisnis yang melibatkan merek fesyen nasional di tataran global.

"Kita harus menghindari industri fesyen hanya memperoleh manfaat sebagai konveksi dari tekstil. Kesepakatan bisnis model ini rentan terhadap dinamika ekonomi politik global, seperti dari perang dagang (AS - Tiongkok)," tuturnya kepada Katadata, Selasa (2/10).

Berdasarkan data yang dipublikasikan Bekraf dan Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas subsektor fesyen mendominasi kinerja ekspor industri kreatif. Pada 2016, porsinya mencapai 54,5%.

Data terkait ekspor produk industri kreatif selama 2010 - 2016 tersebut menunjukkan pertumbuhan rata-rata produk fesyen sebesar 4,3% per tahun. Pada 2010, ekspor produk fesyen Indonesia senilai US$ 8,58 miliar lantas pada 2016 naik ke kisaran US$ 11 miliar.

(Baca juga: Tumbuh 8,7%, Busana Muslim Jadi Andalan Ekspor Tekstil Indonesia)

Komoditas terbesar ekspor subsektor fesyen selama kurun waktu tersebut berasal dari industri pakaian jadi (konveksi) dari tekstil serta industri sepatu olahraga. Pada 2016, kontribusi konveksi dari tekstil mencapai 57,2% sedangkan sepatu olahraga 22,7%.

Menyadari besarnya peran konveksi maka Bekraf berupaya agar nilai tambah industri fesyen terakselerasi. "Nilai tambah ini kalau diturunkan lebih spesifik ialah mendorong Indonesia hadir sebagai merek atau desainer fesyen, bukan sekadar konveksi," ucap Ricky.

Salah satu pasar potensial produk fesyen Indonesia adalah Amerika Serikat (AS). Pada 2016, penjualan ke Negeri Paman Sam menyentuh US$ 4,73 miliar setara kontribusi 43,4% terhadap keseluruhan ekspor subsektor ini.

Guna meningkatkan nilai tambah industri fesyen Indonesia di pasar AS, Bekraf mengirim delegasi ke Agenda Show di Los Angeles. Ajang fashion trade show ini terbilang potensial untuk memperlebar peluang pasar bagi merek-merek mode dari Indonesia.

"Hasilnya, beberapa brand berhasil mendapatkan kesepakatan bisnis dengan outlet besar di pasar AS, seperti Urban Outfitter. Potensi seperti inilah yang ke depan akan digarap secara serius," tutur Ricky.

(Baca juga: Dua Merek Fesyen Lokal Bawa Gaya Jalanan ke Pasar Amerika Serikat)

Pasar potensial bagi produk fesyen Indonesia lainnya adalah Jepang. Nilai ekspor ke Negeri Sakura selama 2010 - 2016 menunjukkan rerata pertumbuhan 24,79%. Realisasi penjualannya pada 2016 sebesar US$ 943,6 juta.

Ricky menyatakan bahwa semakin banyak merek-merek streetwear nasional yang beredar di pasar Jepang. Tapi untuk negara ini, Bekraf melihat potensi bisnis yang lebih luas, tidak hanya soal busana.

"Khusus pasar Jepang, upaya lintas sektor malah akan dilakukan Bekraf ke depan. Tidak hanya industri fesyen tetapi bisa sinergis dengan game, musik, dan kriya," kata Ricky.

Secara keseluruhan, sepanjang tahun ini Bekraf meyakini kinerja ekspor industri kreatif dapat menembus US$ 25 miliar setara dengan pertumbuhan sekitar 5% per tahun. Sumbangsih subsektor fesyen tetap dominan.