Hoaks dan Sikap Elite Politik Picu Keretakan Sosial saat Pemilu

ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Warga membubuhkan cap tangan saat aksi \"Kick Out Hoax\" di Solo, Jawa Tengah, 8 Januari 2017.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
30/8/2018, 11.16 WIB

Keretakan sosial berpotensi terjadi akibat kontestasi pemilihan umum yang dipicu penyebaran hoaks dan sikap abai para politisi. Lembaga riset Polmark Indonesia pernah mengadakan survei di DKI Jakarta pada Januari 2017 yang menunjukan keretakan sosial.

Dari survei Polmark itu, sebanyak 4,3% responden mennyatakan hubungan pertemanannya rusak akibat Pilpres 2014. Angka ini meningkat sebanyak 1,4% menjadi 5,7% pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

"Data di atas menunjukkan adanya potensi retaknya kerukunan sosial karena pemilu," kata Direktur Riset PolMark Indonesia Eko Bambang Subiyantoro di Jakarta, Rabu (29/8).

(Baca juga: Polemik Gerakan #2019GantiPresiden, antara Aspirasi dan Provokasi)

Eko mengatakan, peningkatan tersebut memang kecil jika hanya dilihat berdasarkan angka yang telah dikuantifikasi. Hanya saja, Eko menilai hal tersebut tak bisa dianggap remeh.

Menurut Eko, satu persen responden sebenarnya punya dampak signifikan kepada jumlah pemilih. Jika dibiarkan, hal tersebut bakal berbahaya bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia.

"Satu pun menjadi angka yang harus kita pertimbangkan," kata Eko.

Lebih lanjut survei menunjukkan hoaks menjadi ancaman yang cukup serius. Setidaknya 60,8% pemilih mennyatakan pernah menemukan informasi bohong dan fitnah di media sosial.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 21,2% pemilih sering menemukan hoaks dan fitnah di media sosial. Sebanyak 39,6% lainnya mennyatakan jarang menemukan hal serupa.

Kondisi ini kemudian diperparah oleh para aktor dan partai politik yang abai atas berkembangnya politik identitas dan hoaks yang tersebar di masyarakat.

Peranan tokoh elite

Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, aktor dan partai politik kerap melihat pemilu hanya sebagai ajang kontestasi semata.

Mereka luput memberikan pendidikan politik terkait pemilu kepada masyarakat. Padahal, pendidikan politik ini penting untuk mencegah keretakan sosial.

"Ini yang menjadi hindering, lalu keadaban dan kesantunan kita menurun," kata Siti.

Karenanya, Siti meminta agar para aktor serta partai politik dapat berperan serta memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

(Baca juga: Polmark: Kemenangan Pilpres Ditentukan Dukungan Generasi Millenial)

Wakil Sekretaris Jenderal PKB Maman Imanulhaq sepakat jika pendidikan politik kepada masyarakat perlu diberikan. Maman menilai, masyarakat butuh diberikan penjelasan jika kontestasi dalam politik adalah hal yang biasa. Perbedaan pandangan politik tak mengharuskan masyarakat untuk meniadakan relasi sosial.

"Politik boleh berbeda, tapi hubungan pertemanan atau yang disebut kerukunan sosial itu jadi hal yang harus dijunjung," kata Maman.

Selain itu, dia menilai gerakan literasi perlu semakin disemarakkan. Tanpa hal tersebut, Maman khawatir masyarakat dapat dengan mudah percaya berita hoaks dan fitnah.

"Jika literasi tak dilakukan, kerukunan sosial akan terpecah dan terus menjadi rentan karena masyarakat kita jadi masyarakat yang instan dan menerima berita hoaks tanpa penyaringan," kata Maman.