Usai Kirim Surat, KPK Tunggu Sikap Jokowi soal Revisi KUHP

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak
Pimpinan KPK saat rapat dengar pendapat dengan DPR.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
4/6/2018, 20.16 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali untuk mendorong dikeluarkannya delik korupsi dari revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KPK meminta penegasan sikap pemerintah terkait pembahasan pasal korupsi dalam revisi KUHP di DPR.

"Niat kami sebenarnya mau apa (pemerintah), itu yang kami tanyakan," kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif di Jakarta, Senin (6/4).

Surat yang dikirim KPK kepada Jokowi berisi 10 poin yang meminta pemerintah mencabut pasal korupsi dalam pembahasan revisi RKUHP. Salah satu poin menyebutkan pembahasan pidana korupsi melalui RUU KUHP berpotensi mengabaikan Tap MPR, putusan Mahkamah Konstitusi (MK), serta UNCAC 2003.

Ketiga ketetapan hukum itu menyebutkan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara konsisten sesuai dengan Pertama, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(Baca juga: KPK Soroti Kejanggalan Tak Bisa Usut Korupsi Sektor Swasta di KUHP)

Laode menyebutkan terdapat tiga alasan KPK agar pembahasan korupsi tak dimasukan dalam revisi RKUHP. Pertama, UU Tipikor menyebutkan bahwa yang dimaksud tindak pidana korupsi adalah yang dimuat UU Tipikor. Sehingga, apabila delik korupsi dimasukkan dalam revisi KUHP, akan berpotensi menggerus kewenangan KPK.

"Apabila (tindak pidana korupsi) masuk dalam KUHP, apakah (KPK) masih bisa lidik, sidik, dan tuntut?" ujar Laode.

Kedua, pengaturan pasal korupsi dalam KUHP dinilai tak optimal. Laode menjelaskan kasus pidana bergerak dengan sangat cepat, sementara revisi KUHP sangat sulit dilakukan untuk mengikuti perkembangan kejahatan. "Korupsi berkembang cepat sekali. Suap menyuap bisa dilakukan melalui game online," kata dia.

Ketiga, jeratan hukum dalam aturan KUHP akan meringankan koruptor. KUHP mengatur percobaan pidana bukan kejahatan yang dianggap sempurna sehingga hukuman bagi pelaku hanya 1/3 dari ketentuan.

Sementara dalam UU Tipikor, percobaan kejahatan korupsi sudah dianggap perbuatan yang sempurna dan pelakunya mendapat hukuman penuh. "Kami, dan juga polisi dan jaksa sudah senang dengan UU Tipikor," kata Laode.

(Baca juga: Dikecam, Rancangan KUHP Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers)

Di tempat berbeda, Wakil Ketua KPK Basaria menjelaskan UU Tipikor merupakan aturan detail (lex specialis). Sedangkan aturan lain yang menjadi acuan kewenangan pemberantasan korupsi yakni adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Usai bertemu Jokowi, Basaria tidak menjelaskan respons kepala negara, "Kami selalu berulang kali rapat kembali, rapat kembali. Nanti kita lihat hasilnya," kata Basaria di kompleks Istana Kepresidenan, hari ini.

Langkah KPK mengirim surat kepada Jokowi menuai kritik. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut pembahasan RKUHP bukanlah kewenangan presiden, namun terkait dengan pekerjaan parlemen. "Itu kewenangan DPR-lah. Bukan Presiden lagi," kata JK.

Selain kepada Presiden Jokowi, KPK juga mengirimkannya ke Ketua Panja RKUHP DPR, serta Kementerian Hukum dan HAM. Surat tersebut dikirim pada 14 Desember 2016, 4 Januari 2017, 13 Januari 2017, 24 Mei 2017, dan 13 Februari 2018.

Selain kepada Jokowi, KPK juga mengirimkan surat ke Ketua Panja RKUHP DPR, serta Kementerian Hukum dan HAM sebanyak lima kali. Surat tersebut dikirim pada 14 Desember 2016, 4 Januari 2017, 13 Januari 2017, 24 Mei 2017, dan 13 Februari 2018.