Hasil Studi: Penyebaran ISIS di Indonesia Makin Cepat Lewat Telegram

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Aplikasi Telegram pernah ditutup karena menjadi alat penyebaran paham terorisme.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
16/5/2018, 14.01 WIB

Peneliti dari Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Solahudin, menyatakan jaringan teroris ISIS di Indonesia menggunakan aplikasi percakapan dan media sosial dalam menyebarkan ideologi mereka. Penggunaan aplikasi percakapan dan media sosial membuat penyebaran ideologi lebih cepat dan secara massal.

Solahudin menyebut jaringan ISIS di Indonesia memiliki lebih dari 60 kanal dan 30 forum diskusi privat di Telegram pada 2017. Dalam setiap kanal tersebut, ISIS setiap harinya mampu menyebarkan 80-150 pesan kekerasan setiap harinya.

"Kita hitung sederhana saja, dalam waktu 24 jam itu disebarkan berapa ribu pesan kekerasan. Intensifnya orang terpaparnya dengan paham kekerasan yang membuat proses radikalisasi berlangsung lebih kencang," kata Solahudin dalam diskusi Forum Merdeka Barat di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Rabu (16/5).

 (Baca juga: Jejak Teror dari Kerusuhan Mako Brimob ke Ledakan Bom di Surabaya)

Berdasarkan studi yang dilakukan Solahudin terhadap 75 narapidana terorisme di Indonesia, hampir 85% dari mereka disebutkan terpapar paham radikalisme melalui aplikasi percakapan dan media sosial. Solahudin menyebut, paparan pesan kekerasan yang terus-menerus melalui media sosial membuat mereka dapat melakukan tindakan teror dalam waktu lebih cepat.

Solahudin mengatakan, jangka waktu teroris mulai dari terpapar radikalisme hingga melaksanakan tindakan teror pada rentang 2002-2012 membutuhkan waktu hingga lima sampai sepuluh tahun. Melalui media sosial, mereka kini hanya membutuhkan waktu kurang dari setahun dari sejak terpapar radikalisme hingga mampu melakukan tindakan teror.

Salah satu contoh cepatnya paparan tersebut dapat dilihat dari kasus Anggi Indah Kusuma alias Khanza Syafiyah al-Fuqron, mantan tenaga kerja wanita (TKW) yang sempat masuk kelompok ISIS. Anggi sebelumnya ditangkap pada Agustus 2017 karena merencanakan aksi bom di Jakarta dan Bandung bersama suaminya Adilatul Rahman.

(Baca juga: Polisi Deteksi Narapidana Terorisme Mengajak Serang Mako Brimob)

Solahudin menyampaikan, Anggi sebelumnya tidak dikenal sebagai orang yang agamis di kalangan rekan sejawatnya pada November 2016. Perubahan diri Anggi mulai terlihat ketika Desember 2016 ketika dia mengunggah foto diri berbaiat kepada pemimpin ISIS Abu Bakar Al Baghdadi di media sosial.

Pada bulan April, Anggi diketahui oleh pemerintah Hong Kong dan dideportasi ke Indonesia. Dia pun mengikuti program deradikalisasi selama tiga bulan hingga Juli. Hanya saja, Anggi setelah itu menghilang dari kampung halamannya dan baru ditemukan pada Agustus 2018 tengah merencanakan teror.

Solahudin mengatakan, sejak terpapar radikalisme pada Desember 2016 Anggi mengikuti lebih dari 50 kanal dan 30 forum diskusi privat Telegram. Karenanya, waktu Anggi dari mulai terpapar radikalisme hingga merencanakan teror sangat cepat.

"Proses radikalisasi pada Anggi berlangsung sangat kencang. Anggi terpapar deradikalisasi pada Desember 2016 dan mulai merencanakan aksi teror pada Agustus 2017," kata dia.

(Baca juga: Terduga Teroris Serang Mapolda Riau Gunakan Senjata Tajam)

Meski proses radikalisme efektif melalui media sosial, hal tersebut tidak berlaku untuk proses rekrutmen kelompok teroris. Berdasarkan studi yang dilakukan Solahudin, hanya tujuh kasus atau 9% anggota kelompok teroris di Indonesia yang direkrut melalui media sosial.

Sementara 91% lainnya menyatakan bergabung dengan kelompok teroris melalui tatap muka dan forum keagamaan. Solahudin menyatakan, proses rekrutmen tidak dilakukan melalui media sosial lantaran kebebasan berekspresi dan berorganisasi masih cukup terjamin di Indonesia.

"Kedua, kelompok ekstremis di Indonesia tidak percaya hal berbau online untuk rekrutmen. Banyak kasus penipuan terjadi," katanya.

Kementerian Kominfo sebelumnya pernah menutup aplikasi Telegram karena ditengarai menyebarkan paham radikalisme. Namun, kebijakan penutupan ini dicabut dengan kesepakatan penutupan konten terorisme dari Telegram.  (Baca juga: Urus Pencabutan Blokir, Bos Telegram Janji Tutup Konten Terorisme)