Pemerintah menyiapkan langkah agar pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta dapat tetap berjalan. Rencananya aturan soal reklamasi Jakarta akan diatur secara khusus dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan RUang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).
Hingga saat ini, pembangunan reklamasi tertunda lantaran ditariknya Rancangan Peraturan Daerah Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dan Perda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZPW3K) oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada tahun lalu. Dua Raperda tersebut merupakan payung hukum bagi pengembang untuk memulai pembangunan di lahan reklamasi.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaluddin mengatakan, pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta tak boleh berhenti karena permasalahan aspek legalitas. Alasannya, reklamasi merupakan proyek nasional yang pembangunannya diprioritaskan.
"Ketika RZWP3K belum menjadi Perda, tidak boleh terkunci, artinya tidak boleh pembangunan berhenti," kata Ridwan di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (16/4).
(Baca: Tarik Dua Raperda, Anies Dinilai Serius Hentikan Reklamasi Jakarta)
Karenanya, melalui revisi Perpres ini akan ada arahan bagaimana pembangunan di proyek reklamasi Teluk Jakarta dapat dilakukan. Perpres akan membuat detil prosedur pembangunan reklamasi.
Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian ATR/BPN Abdul Kamarzuki mengatakan, sebenarnya arahan tersebut sudah ada dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2018. Hanya saja, belum ada detil prosedur karena perlu ada rekomendasi teknis dari pemerintah daerah melalui terbitnya Perda RZPW3K.
"Jadi bisa ditetapkan arahan melakukan kegiatan di partai utara pesisir ini," kata Abdul.
Revisi aturan ini akan dibicarakan secara intensif dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Selain itu, komunikasi juga dilakukan dengan pemerintah DKI Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. "Tim harus bicara secara intensif," kata Ridwan.
Rencananya, revisi Perpres Nomor 54 Tahun 2018 ditargetkan selesai akhir 2018. Adapun saat ini, pemerintah tengah melakukan konsultasi publik terhadap rencana revisi Perpres Nomor 54 Tahun 2018 selama tiga bulan sejak 16 April hingga 31 Juli 2018.
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan merevisi Perpres Nomor 54 Tahun 2008 karena dalam 10 tahun terakhir Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) kawasan megapolitan tersebut belum pernah diubah.
(Baca juga: Ubah Tata Ruang, Pemerintah Revisi Perpres Jabodetabekpunjur)
Darmin mengatakan, kawasan Jabodetabekpunjur menyumbang hingga 19,9% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tingginya kontribusi tersebut membuat laju penduduk di kawasan Jabodetabekpunjur pada tahun ini telah mencapai 32 juta jiwa. Angka ini meningkat dari satu dekade yang lalu sebesar 22 juta jiwa.
Sementara itu, jumlah lahan di kawasan Jabodetabekpunjur terbatas. Padahal, saat ini konversi lahan tidak terbangun menjadi terbangun sendiri antara 2012-2015 sudah mencapai 48%. Adapun, lahan sawah yang terkonversi menjadi bangunan mencapai 24,3%.
"Ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan ruang atau tempat tinggal, tempat usaha dan infrastruktur, tentu saja baik jalan, terminal, bandara, pelabuhan, jaringan air bersih, air limbah, pembangkit listrik dan sebagainya," kata Darmin.
Selain itu, persoalan ini juga memunculkan masalah banjir besar. Menurut Darmin, banjir sebenarnya merupakan hal yang sejak dulu terjadi. Banjir di kawasan Jabodetabekpunjur tercatat pernah terjadi pada 1699, 1714, 1854, 1918, dan 1996.
Banjir sering terjadi lantaran masifnya pembangunan di Jabodetabekpunjur. Banjir besar yang terjadi tercatat pada 2002, 2007, 2008, dan 2013.
Menurut Darmin, banjir juga mengancam kawasan Jakarta Utara yang saat ini penurunan muka tanahnya terus berlangsung. Pada 1990, hanya 12% atau 1600 hektar lahan di Jakarta Utara yang berada di bawah permukaan laut.
Adapun pada 2030 diperkirakan hampir 90% atau 12.500 lahan di Jakarta Utara yang berada di bawah permukaan laut. Hal ini disebabkan adanya penurunan muka tanah di Jakarta rata-rata 7,5 centimeter per tahun.
"Jakarta Utara akan kena banjir baik dari laut maupun dari sungai karena air sungai tak dapat menuju ke laut," kata dia.