Komisi Yudisial (KY) akan mengkaji dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Hakim Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Effendi Mukhtar dalam putusan kasus bailout Bank Century. Putusan Efendi menjadi kontroversial karena memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyidik, menetapkan tersangka hingga menuntut Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk.
"Untuk memastikan terbukti atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut," kata juru bicara KY Farid Wajdi ketika dihubungi Katadata.co.id, Rabu (11/4).
Hakim Effendi pada sidang Senin (9/4) mengabulkan sebagian permohonan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Gugatan ini berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung yang menambah hukuman mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya menjadi selama 15 tahun.
(Baca juga: Ahli Hukum Anggap KPK Tak Perlu Ikuti Putusan Praperadilan Century)
Putusan kasasi tersebut menyebut Budi Mulya melakukan tindakan yang merugikan negara dalam kebijakan bailout Bank Century, bersama dengan Raden Pardede dan Robert Tantular sebagaimana disebut dalam surat dakwaan. Sementara nama Boediono dan Muliaman Hadad disebutkan dalam permohonan praperadilan yang diajukan oleh MAKI.
Farid mengatakan, saat ini secara prinsip KY tak dapat menilai salah atau benarnya putusan yang ditetapkan Efendi. Sebab hal tersebut merupakan ranah independensi hakim.
Meski begitu, KY menganggap independensi hakim bukan kebebasan mutlak tanpa batasan. Jika independensi hakim tak terbatas, akan berpotensi membuat kekuasaan kehakiman yang sewenang-wenang.
Sebaliknya KY meminta agar putusan hakim mengacu pada prinsip akuntabilitas atau dapat dipertangggungjawabkan kepada publik. "Sesungguhnya akuntabilitas merupakan pelengkap independensi," kata Farid.
(Baca juga: Kasasi Budi Mulya Jadi Dasar Putusan Praperadilan Kasus Bank Century)
Farid juga menilai, hakim boleh saja menafsirkan hukum, namun tak boleh menyimpang dari aturan. Menurut Farid, hukum pidana berkaitan dengan hak asasi manusia.
Sebelumnya pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan putusan Effendi melebihi kewenangannya. Dia mengatakan kompetensi praperadilan terkait keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut.
Kewenangan lain praperadilan diatur dalam Pasal 77 sd 83 KUHAP, yakni dalam menilai sah atau tidaknya penghentian penyidikan, serta memutus ganti rugi dan rehabilitasi. Adapun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sah atau tidaknya penetapan tersangka.
Abdul Fickar mengatakan putusan yang melebihi kewenangan, bersifat tidak mengikat dan tidak wajib untuk diikuti. "Bahkan menurut saya bisa diajukan peninjauan kembali (PK)," kata dia.
Sementara itu Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan selama ini kewenangan hakim praperadilan tak diatur secara lengkap. Akibatnya, para hakim dapat menafsirkan sesuai kepentingan masing-masing.
(Baca juga: Mantan Hakim MK: Kebijakan Century Tak Bisa Dipidanakan)