Putusan MK Sahkan Hak Angket KPK Diduga 'Barter Politik'

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) membacakan putusan yang menolak gugatan uji materi atas Pansus Hak Angket DPR untuk KPK.
Penulis: Yuliawati
10/2/2018, 11.00 WIB

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki kewenangan dalam membentuk hak angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap bernuansa politis. Putusan ini diduga sebagai barter antara Ketua MK Arief Hidayat dengan Komisi III DPR yang telah mengangkatnya kembali sebagai hakim kontitusi selama dua periode.

"Kalau dikaitkan dengan isu belakangan yakni pertemuan Ketua MK Arief Hidayat dengan DPR, ada dugaan barter putusan, dari sisi moral putusan ini memang dipertanyakan," kata ahli hukum tata negara, Refly Harun, kepada Katadata, Jumat (9/2).

Pada Kamis (8/2), MK memutuskan menolak permohonan uji materi yang diajukan sejumlah pegawai KPK atas dibentuknya panitia khusus hak angket DPR. Dalam gugatan tersebut, pegawai KPK menilai pembentukan hak angket tak sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Para pemohon menganggap KPK bukan termasuk unsur eksekutif sehingga tidak dapat dijadikan sebagai objek pelaksana hak angket oleh DPR. Namun dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa KPK adalah lembaga eksekutif karena menjadi penunjang pemerintah yang dibentuk berdasarkan UU.

(Baca juga: MK Terpecah dalam Putusan Sahkan Hak Angket KPK di DPR)

Sebelum mengeluarkan putusan ini, Ketua MM Arief Hidayat mendapatkan sorotan karena mendapatkan sanksi kedua dari Dewan Etik MK karena dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran etika. Arief mendapatkan sanksi etik pada 11 Januari 2018 karena terbukti bertemu sejumlah pimpinan Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta.

Meski Dewan Etik tak menyebutkan pertemuan tersebut sebagai lobi politik, Arief dan Komisi III DPR bertemu ketika dirinya mencalonkan kembali sebagai hakim konstitusi. Setelah pertemuan tersebut, pada 7 Desember 2017, DPR menyatakan Arief lolos uji kelayakan dan kepatutan dan duduk sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua.

Atas pelanggaran etika yang dilakukan Arief ini, 54 guru besar dan profesor dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga di Indonesia mendesaknya mundur dari jabatan ketua MK.

Kuasa hukum pemohon uji materi Victor Santoso Tandiasa menyatakan, muncul keraguan dari kalangan aktivis antikorupsi atas independensi MK dalam memutuskan uji materi hak angket KPK. Sehingga kalangan aktivis antikorupsi memilih mencabut uji materi hak angket KPK yang diajukan ke MK.

Namun, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Wadah Pegawai KPK yang mengajukan gugatan yang sama memilih melanjutkan perkara uji materi. "Kami bersepakat untuk tetap memberikan kepercayaan kepada MK untuk menangani perkara ini hingga tuntas karena (awalnya) kami masih meyakini delapan hakim MK lainnya masih dapat mempertahankan integritasnya," kata Victor.

(Baca juga: Usulan Pembekuan KPK, Jokowi: Saya Tidak akan Biarkan KPK Dilemahkan)

Selain menyoroti Arief, Refly menyatakan dua hakim yang memutuskan mendukung hak angket KPK berlatar belakang hasil pemilihan di DPR. Mereka yakni Aswanto, dan Wahiduddin Adams.

Adapun empat hakim kontitusi yang menyatakan dissenting opinion atau menolak hak angket KPK, tak satu pun berlatar belakang hasil pemilihan dari DPR. Empat hakim tersebut terpilih lewat jalur pemerintah dan perwakilan Mahkamah Agung.

Tiga hakim kontitusi di antaranya dipilih Presiden Joko Widodo dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yakni I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra dan Maria Farida Indrati. Satu hakim lainnya yakni Suhartoyo merupakan hasil seleksi oleh Mahkamah Agung.

Dengan adanya dissenting opinion oleh empat hakim, Refly menganggap putusan hak angket KPK ini tidak kuat. Secara subtansi, kata Refly, pertimbangan hakim pun dipertanyakan.

Refly mengatakan, KPK tak bisa dimasukkan sebagai eksekutif. KPK merupakan lembaga independen yang merupakan bagian cabang kekuasaan negara keempat di luar eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Dia juga menyatakan hak angket merupakan bentuk pengawasan dan keseimbangan (check and balances) antara cabang kekuasaan legislatif yakni DPR dengan eksekutif dalam hal ini Presiden. "KPK berbeda dengan Presiden yang berpotensi memiliki kekuasaan eksesif, KPK sebagai lembaga memiliki keterbatasan sehingga hak angket tidak sesuai diberikan," kata Refly.

KPK menyatakan kecewa dengan putusan MK yang menolak uji materi atas gugatan hak angket terhadap KPK. "KPK kecewa dengan keputusan MK tersebut, tapi sebagai institusi KPK hormati putusan pengadilan," kata juru bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/2).

(Baca juga: Pansus Angket DPR Paparkan Empat Temuan soal KPK)

Febri mengatakan, KPK secara internal akan membahas dan menganalisis hasil putusan MK tersebut untuk mengetahui konsekuensi terhadap kelembagaan. Hasil pembahasan ini juga akan mempengaruhi bagaimana sikap KPK terhadap adanya Pansus Hak Angket DPR.

Meski demikian, Febri menegaskan terdapat pertimbangan hakim yang harus ditekankan dari putusan MK. Pertimbangan tersebut menyatakan bahwa kewenangan pengawasan DPR tidak bisa masuk pada proses yudisial KPK, seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

"Proses ini harus berjalan independen dan pengawasan sudah dilakukan oleh lembaga peradilan mulai dari praperadilan, pengawasan horizontal dan berlapis di Pengadilan Tipikor, banding, dan kasasi," kata Febri.