Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan membuat kurikulum ceramah keagamaan untuk mengantisipasi terjadinya politisasi suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) melalui mimbar keagamaan. Antisipasi ini belajar dari berbagai kasus yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang diwarnai sentimen SARA.
"Kami pengalaman dari berbagai Pilkada, maka perlu antisipasi. Salah satu bagian pengalaman di Pilkada DKI," kata Ketua Bawaslu Abhan di kantornya, Jakarta, Jumat (9/2).
Menurut Abhan, politisasi SARA dilarang sebagai bagian kampanye Pilkada dan pelakunya terancam sanksi pidana. Aturan sanksi mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Tim kampanye pasangan calon yang menyinggung SARA itu dilarang dan bisa sanksi pidana. Jadi tergantung pembuktian kami dalam proses pengkajian atas laporan dugaan pelanggaran itu," kata Abhan.
(Baca juga: Bawaslu Gandeng Facebook hingga Twitter untuk Lawan Hoaks Pilkada)
Abhan mengatakan, saat ini pihaknya masih merumuskan materi kurikulum ceramah keagamaan dengan berbagai elemen, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI). Sejauh ini, dia mengklaim respon tokoh dan organisasi keagamaan cukup bagus memandang adanya wacana ini.
"Ini masih pembahasan, untuk buat buku masih diproses," kata Abhan.
Abhan menjanjikan kurikulum ini segera selesai untuk diterapkan dalam kampanye Pilkada 2018. Kendati demikian, Abhan mengaku kesulitan dalam perumusan kurikulum. "Secepatnya, tapi mengumpulkan berbagai elemen masyarakat tidak mudah," kata Abhan.
Eksploitasi anak
Selain isu mengenai penggunaan materi SARA dalam Pilkada, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta Bawaslu memperhatikan keterlibatan anak dalam masa kampanye selama Pilkada 2018. KPAI mencatat terdapat 248 pelanggaran yang melibatkan anak dalam Pemilu 2014.
Ketua KPAI Susanto mengatakan, setidaknya ada beberapa hal yang kerap membuat eksploitasi anak dalam kegiatan kampanye Pilkada terjadi. Pertama, anak dimanfaatkan melalui politik uang agar dia ataupun orang tuanya memilih pasangan calon tertentu.
Kedua, anak yang belum berumur 17 tahun atau tidak memiliki hak memilih dimasukkan ke dalam daftar pemilih tetap di daerah. Selain itu, pasangan calon juga menggunakan fasilitas anak, seperti tempat bermain dan sekolah untuk melakukan kampanye.
(Baca juga: Menteri Tjahjo Kumolo Sebut Pilkada Serentak Sedot Dana Besar)
Abhan mengatakan Bawaslsu kesulitan menindak pelanggaran terkait pelibatan anak dalam Pilkada. Alasannya, ada beberapa kekosongan aturan hukum dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Pelibatan anak dilarang, tapi sanksinya ini tidak tegas diatur, apakah administrasi atau pidana," kata Abhan. Namun Abhan menjanjikan akan menindak tegas peserta Pilkada 2018 jika menemukan kasus yang memang bisa diusut langsung oleh Bawaslu secara administratif.
Jika dugaan pelanggarannya sulit ditangani Bawaslu, Abhan akan memberikan rekomendasi kepada instansi terkait untuk menindaknya. "Kalau pidana umum kami merekomendasikan ke penyidik untuk tindak lanjut," kata dia.