MK Terpecah dalam Putusan Sahkan Hak Angket KPK di DPR

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi Undang-undang UU MD3 dan menyatakan bahwa Pansus KPK sah secara konstitusi, Kamis (8/2).
Penulis: Yuliawati
8/2/2018, 17.54 WIB

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi mengenai kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembentukan hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK menyatakan hak angket KPK yang dibentuk DPR merupakan sah secara konstitusional.

"Menolak permohonan para pemohon," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam putusan, Kamis (8/2).

Dalam putusan ini, empat hakim konstitusi menyatakan disssenting opinion atau perbedaan pendapat dengan menyatakan seharusnya permohonan uji materi dikabulkan. Mereka yakni Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra dan Suhartoyo. Artinya hanya lima hakim yang menganggap hak angket KPK merupakan kewenangan DPR.

(Baca juga: Usulan Pembekuan KPK, Jokowi: Saya Tidak akan Biarkan KPK Dilemahkan)

Kordinator kuasa pemohon uji materi, Victor Santoso Tandiasa, menyatakan empat hakim yang menyatakan dissenting opinion merupakan hakim yang berlatar belakang hukum tata negara.

Dia menyatakan persoalan kewenangan DPR dalam hak angket Pansus KPK merupakan persoalan yang harus dijawab dengan argumentasi konstitusional tata negara dengan menggunakan penafsiran historis, sistematis dan original intent pembentukan UU angket dan UUD 1945 tentang hak angket DPR.

"Kami merasa menang secara hukum namun kalah secara politis," kata Victor. 

Perkara uji materi diajukan oleh Wadah Pegawai KPK bersama dengan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) menilai pembentukan hak angket itu tak sesuai dengan Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang kemudian diubah dengan UU Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

(Baca juga: Pansus Angket DPR Paparkan Empat Temuan soal KPK)

Para Pemohon menganggap subjek hak angket sesuai UUD 1945 terbatas pada kekuasaan eksekutif. Sementara KPK dianggap bukan eksekutif, merupakan komisi negara independen yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi. KPK sebagai komisi negara independen berada di luar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Sementara dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga yang berada di ranah eksekutif yang melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam perkaran tindak pidana korupsi.

"Posisinya berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen dan terbebas dari pengaruh manapun," bunyi putusan MK.

(Lihat: Tren Korupsi Meningkat, KPK Dikebiri)

Meskipun sebagai lembaga independen, MK menyatakan DPR sebagai wakil rakyat berhak meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.

"Bahwa tidaklah dapat dijadikan landasan untuk menyatakan hak angket DPR tidak meliputi KPK sebagai lembaga independen, karena secara tekstual jelas bahwa KPK adalah organ atau lembaga yang termasuk eksekutif dan pelaksana undang-undang di bidang penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," bunyi putusan MK.