SBY Disebut dalam Sidang Korupsi e-KTP, Demokrat Angkat Bicara

ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
Ketua Umum DPP Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono saat sambutan Rapat Kerja Nasional di Hotel Lombok Raya, Mataram, NTB, Senin (8/5).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
25/1/2018, 20.49 WIB

Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disebut-sebut dalam persidangan kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Saat memberikan kesaksian, mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Fraksi Demokrat Mirwan Amir mengaku pernah menyarankan SBY agar proyek tersebut tak dilanjutkan.

Mirwan mendengan informasi ada masalah dalam proses pengadaan proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut dan  menyampaikannya kepada SBY. 

"Saya sempat menyampaikan ke Pak SBY agar e-KTP tidak diteruskan, di Cikeas," kata Mirwan Amir di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (25/1) seperti dikutip dari Antaranews.

(Baca: Ajukan Juctice Collaborator, Setnov Klaim Akan Bongkar Pelaku Utama)

Lebih lanjut, Mirwan yang bersaksi untuk terdakwa Setya Novanto, menyatakan permintaan disampaikan sekilas saat bertemu SBY di Cikeas. "Tanggapannya dari Pak SBY bahwa ini kita untuk menuju Pilkada, jadi proyek ini diteruskan," kata Mirwan.

Disebutnya nama SBY dalam persidangan ini membuat Demokrat angkat bicara. Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan, program e-KTP merupakan kebijakan yang bersumber dari Undang-undang (UU) dan karenanya wajib dilaksanakan.

"Apabila presiden tidak melaksanakan kewajiban UU berarti presiden melanggar UU dan bisa diminta pertanggungjawabannya secara kelembagaan. Landasan kebijakan e-KTP loud  and clear," kata Agus dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata.

Agus menceritakan latar belakang program tersebut karena sistem pembuatan KTP konvensional di Indonesia memungkinkan seseorang memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu untuk menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia.

Hal tersebut, lanjut Agus, memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang dalam hal tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan menggandakan KTP yang dimilikinya.

"Misalnya untuk menghindari pajak, memperlancar korupsi atau kejahatan lainnya, menyembunyikan identitas seperti teroris dengan memalsukan identitas," kata Agus.

(Baca: Dakwaan Setnov Ungkap Aliran Dana e-KTP & Keterlibatan Anggota DPR)

Karenanya, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerapkan sistem e-KTP. Hal ini didorong oleh pelaksanaan pemerintahan elektronik (e-Government) serta untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Selain itu, Wakil Ketua DPR ini juga menjelaskan bahwa UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan mengenai kewajiban tersebut. "Untuk pelaksanaan teknis, Presiden mengeluarkan kebijakan teknis yg harus dipedomani agar tidak disalahgunakan yaitu Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan," kata Agus.

Menurut Agus, e-KTP berlaku sebagai identitas diri dan berlaku nasional. Alhasil, masyarakat tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan perizinan serta mencegah adanya identitas ganda dan pemalsuan.

"Dengan e-KTP keakuratan data penduduk dapat mendukung program pembangunan," kata dia.

Kendati, Agus menilai jika terjadi penyimpangan dan pelanggaran seperti korupsi dalam pengadaannya, hal tersebut menjadi ranah hukum. "Harus diusut tuntas, tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih, harus transaparan, akuntabel dan profesional. Hindarkan politisasi kepentingan," kata Agus.